Lihat ke Halaman Asli

Pentingnya Prespektif Multibudaya dalam Bimbingan dan Konseling

Diperbarui: 31 Juli 2023   08:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Munculnya pendekatan bimbingan dan konseling multibudaya dilatari oleh kesadaran masyarakat terhadap makna keberagaman, konsensus para ahli mengenai pentingnya perspektif multibudaya dalam bimbingan dan konseling, dan tantangan kehidupan global yang semakin menuntut konselor peka terhadap pengembangan kompetensi multibudaya (Hansen, 1997; Loewenthal, 2003; dan Baruth & Manning, 2012). Ini semua perlu dipahami dan menjadi pola pikir (mind set) Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor kini dan masa mendatang sehingga mampu memberikan layanan profesionalnya pada masyarakat atau individu yang hampir dapat dipastikan multibudaya.  

Sementara ini pendekatan bimbingan dan konseling seperti psikodinamik, behavioral, dan humanistik ditengarai sebagai bimbingan dan konseling yang monobudaya (McLeod 2003: 273). Padahal pada era sekarang ke depan hampir tidak mungkin ada individu atau kelompok orang yang mono budaya. Perkembangan manusia merupakan suatu proses berkelanjutan (ongoing process) sampai akhir hayat disertai variasi budaya dan individual yang ada pada setiap periode perkembangannya (Baruth and Manning, 2012:16). Menurutnya, variasi budaya yang dialami manusia dalam rentang kehidupannya membuat manusia menjadi multibudaya. Ini mengimplikasikan bahwa untuk memahami manusia perlu pendekatan multibudaya.  Dalam konteks ini, Jackson, (2006:311) menegaskan bimbingan dan konseling multibudaya mengakui bahwa budaya membentuk dasar perkembangan kognisi, emosi, perilaku, asumsi, keyakinan, dan harapan sehingga memengaruhi setiap aspek kehidupan sehari-hari.

Bimbingan dan konseling multibudaya dikembangkan atas dasar kebutuhan konseli sesuai dengan keunikan perkembangan identitas budayanya (Baruth and Manning, 2012:28). Bimbingan dan konseling multibudaya ditujukan agar konseli memiliki fleksibiltas budaya, memahami persoalan personal dan realitas sosial/politik, serta mampu melakukan self-help dalam dunia multibudaya (McLeod, 2003: 286-287).  Oleh sebab itu para ahli seperti Sue & Sue (2003), McLeod (2003), Jackson (2006),  Hays  & Erford (2010), Baruth and Manning (2012), sampai pada suatu konsensus bahwa bimbingan dan konseling multibudaya secara filosofis sebagai upaya untuk memfasilitasi konseli atau peserta didik/konseli berkembang optimal dan dapat hidup harmoni dalam kehidupan multibudaya. 

Bimbingan dan konseling multibudaya bukan hanya melibatkan pangaruh proses Kepekaan konselor terhadap latar belakang konseli dan kebutuhan khususnya, serta model penyesuaian diri yang dilakukan secara seimbang dengan konsep nilai, bias, dan kemampuan konseli merupakan faktor penting dalam bimbingan dan konseling. Jika tidak, konselor dapat salah memahami dan membuat konseli frustasi, bahkan dapat menyakitinya (Gladding, 2012, hlm. 98). Jika ini yang terjadi, maka bimbingan dan konseling dapat menjerumuskan orang, alih-alih membantu perkembangan optimal mereka.

Penyesuaian diri secara seimbang yang dimaksud adalah pelenturan psiko-fisik Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor terhadap psikofisik konseli. Dengan model penyesuaian ini guru BK/konselor tidak larut terbawa arus psiko-fisik konseli tetapi juga tidak hanya berada pada area psiko-fisik dirinya sendiri. Ia melakukan pergerakan penyesuaian dengan kondisi psiko-fisik konseli sembari tidak kehilangan jati dirinya sebagai Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor. Ia tetap sadar akan jati dirinya, mampu merasakan yang dirasakan konseli, mampu memikirkan apa yang dipikirkan konseli, mampu memaknai berbagai fenomena psiko-fisik konseli, serta  mampu memberikan pengaruh yang memfasilitasi perkembangan konseli. 

Interaksi interpersonal dan komunikasi, tetapi juga melibatkan pengaruh sosial. Sue and Sue (2003, hlm. 101) menegaskan bahwa counseling and psychotherapy may be viewed legitimately as a process of  interpersonal interaction, communication,  and social influence. Dengan demikian, bimbingan dan konseling multibudaya yang efektif bisa terjadi apabila konselor dan konseli sama-sama mampu mengirim dan menerima baik pesan-pesan verbal maupun non verbal secara tepat dan akurat. Tetapi interaksi dan komunikasi konselor-konseli seringkali terhambat terlebih dengan konseli yang berbeda latar belakang etnis atau ras dan budayanya. Dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling latar belakang etnis atau ras dan budaya bisa jadi bertindak sebagai penghambat terutama dalam memperlemah pengaruh sosial (Sue and Sue, 2003, hlm. 101). Implikasinya Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor sudah seharusnya menyadari, memahami, dan respek terhadap latar belakang etnis atau ras dan budaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline