Allohuma sholi ala syaidina WA maulana habibika muhammad abduh nabiyil umi wal mursalin.
Aku memang ndak bersorban dan berimamah, bahkan memakai banyak atribut yang menempel di baju dengan lambang tersebut.
Aku juga manusia biasa, yang belum tentu ketika anatomi ku dibelah dadaku bertuliskan ma fi qalbi ghairullah, nasab nasabku pun sangat jauh dari manusia mulia tersebut.
Harta ku pun ndak banyak, aku pun ndak dapat menjamin dengan bersholawat jasad ku ndak akan terkikis oleh tanah.
Seluruh sistem respirasi dan sirkulasi di dalam tubuh masih mengalir normal, jantungku berdenyut, bibir ku tertutup rapat menutup rahasia dari segala rahasia keindahan kekasihNya.tidak ada sejengkal ilmu dari dalam diri yang hendak disampaikan, bukan apa apa, khawatir memberatkan atau memang sesungguhNya diri ini ndak layak atas apa yang pernah di lisankan. Kening ku berpeluh, keringat demi sedikit butir demi butir berusaha tetap ndak mengerti apapun, berada disini hanya karna rindu, karna hanya rindu yang ndak pernah mengharuskan kapan kita bersatu. Menghitung setiap helai bulu di tangan, alangkah rindu untuk bersalaman, berjabat, namun kurasa, hati lebih pantas untuk mencinta, ya tentu tanpa dusta, tanpa ada sedetikpun Sekutu selainNya.setiap detak nafas, detik rindu terangkum dalam usia yang terkadang semu,fana dan kembali kepadaNya. KTP ku
Indonesia. Terima kasih negeriku, engkau tetap mengizinkan secuil adzom ini terpatri tumbuh santun menikmati sebutir demi sebutir padi yang ada diladangmu, jangan lupakan jerih payah mereka menanam, kita ndak berhak mencabut, hanya sekedar penikmat yang lupa kadang diri kita siapa. Entah mondoknya kurang jauh, nyangkulnya kurang dalam atau di kuburannya sudah ada AC, sehingga mata kita selama didunia ndak pernah pedih menangisi perjuangan mereka. Alloh, Alloh, Alloh allohuma sholi ala syaidina Muhammad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H