SENIORITAS DI RANAH PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh: Sri Wahyu
Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa. Tanpa adanya pendidikan, sebuah negara akan menjadi negara yang terbelakang. Dalam menempuh pendidikan tentunya kita mendapatkan banyak sekali ilmu baru yang dapat kita pelajari. Tak hanya itu saja, bahkan kita juga diajarkan untuk selalu memegang teguh rasa hormat kepada siapa pun terutama kepada yang lebih tua. Dari hal ini, muncul lah pemisah kelompok secara sosial berdasarkan umur. Yang lebih tua secara umur, mendapat labelisasi otomatis sebagai senior, sedangkan yang jauh lebih muda adalah junior. Akan tetapi pemberian gelar senior kepada mereka yang tidak paham terkadang justru disalahgunakan lalu berakhir menjadi bullying kepada para juniornya.
Seperti yang kita ketahui, senioritas nyatanya sudah mendarah daging bahkan sudah seperti warisan turun temurun di Indonesia. Tak hanya di lingkup universitas saja, namun sudah dari sejak sekolah menengah pertama. Tetapi, tak semua budaya senioritas itu buruk. Karena pada dasarnya senioritas itu bertujuan untuk mendidik para junior agar menjadi pribadi yang lebih baik, disiplin, dan bertanggung jawab, serta agar dapat saling menghormati satu sama lain terutama dengan yang lebih tua. Namun tak jarang, senioritas sering kali membawa masalah tersendiri, misalnya penindasan, ketidakadilan, kekerasan, ketimpangan sosial, dan berbagai masalah lainnya. Hal ini justru sama saja dengan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Misalnya ketika ospek, makrab, dan acara lain sebagainya yang sering kali digunakan untuk menjadi ajang pembuktian bagi para senior agar mereka terlihat hebat, garang dan berwibawa. Sebagai senior yang artinya sama seperti seorang kakak, seharusnya mengajarkan hal yang baik kepada para adiknya. Lalu, mengapa mereka masih melakukan tindakan konyol seperti itu?
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan kematian mahasiswa di salah satu kampus ternama di Indonesia pada Minggu (24/10/2021) akibat mengikuti pendidikan dan latihan dasar resimen mahasiswa (diklatsar menwa). Tentunya sudah bukan menjadi rahasia publik lagi bahwa diklat merupakan salah satu ajang dimana senior melakukan aksi senioritasnya kepada para junior dan tak jarang menjadi ajang untuk balas dendam karena pernah menerima tindakan yang sama ketika ia menjadi junior sebelumnya. Dikabarkan oleh beberapa media bahwa berdasarkan hasil otopsi, penyebab kematian mahasiswa tersebut diduga adanya tindak kekerasan.
Melihat kasus tersebut pelik sekali memang. Bagaimana tidak? Seorang mahasiswa yang pada mulanya ingin menempuh pendidikan justru malah tewas di dalam institusi tersebut? Seharusnya institusi lebih mengawasi serta memperkuat suatu kebijakan agar sistem pembelajaran berjalan dengan kondusif, dan berupaya untuk mencegah kejadian serupa. Kemudian masyarakat bisa berkontribusi juga dengan mendukung kebijakan yang dibuat oleh institusi tersebut. Sedangkan pemerintah dapat memperkuatnya dengan regulasi yang ada. Kasus kekerasan seperti ini sebetulnya sudah terjadi beberapa kali. Bahkan pada bulan April lalu, mahasiswi di lembaga institusi yang lain juga berakhir tewas akibat mengikuti diklatsar resimen juga. Sayangnya, pada April lalu kasus tersebut tak diusut hingga tuntas sehingga kasus yang sama terjadi lagi.
Senioritas masih menjadi hal yang menakutkan dalam ranah pendidikan di Indonesia. Senior akan menekan junior, kemudian nantinya junior akan melakukan hal yang sama ketika mereka menjadi senior. Siklus ini akan selalu berputar-putar. Senior berlindung dibalik kata bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk menggembleng junior demi melatih mental mereka. Lalu apakah melatih mental harus melulu dengan kekerasan? Dari fenomena tersebut, sikap senioritas bukannya melatih mental tetapi justru malah menyebabkan mental para junior terganggu sehingga mereka menjadi terkekang. Hal ini disebabkan karena keegoisan para senior yang selalu ingin dihormati oleh para juniornya. Lalu, apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dan efektif untuk dilakukan? Karena seperti yang kita tahu bahwa tidak semua orang suka dibentak dan diperlakukan secara keras. Lalu, bukankah mereka juga pernah merasakan hal serupa sebelumnya? apakah mereka tidak merintih kesakitan juga? Sangat tidak mungkin apabila mereka tidak merasa kesakitan. Lalu mengapa mereka ingin menanamkan jiwa kebencian yang sama kepada para juniornya?
Senioritas yang negatif ini justru dapat menimbulkan efek yang tidak baik. Baik itu bagi para junior, para senior, dan institusi tempat mereka belajar. Di era modern seperti ini, bukan kah budaya senioritas dengan cara penindasan kepada junior sudah kuno untuk dilakukan? Dan bukan kah semua mahasiswa punya hak yang sama antara satu dengan yang lainnya? Dari peristiwa seperti ini sebenarnya terbukti bahwa penyalahgunaan kekuasaan dapat menimbulkan kerugian, baik dari pihak pelaku, korban, serta pihak lainnya. Jika saja para senior dapat memanfaatkan kedudukannya untuk menyalurkan hal positif, tentulah hal seperti ini tidak akan terjadi.
Senioritas memang diperlukan dan dibutuhkan, namun dilihat lagi bagaimana bentuk senioritasnya. Apakah dengan bentuk kekerasan atau dengan bentuk positif yang memang benar-benar dapat membangun para juniornya. Dan para senior juga harus paham betul dan bijaksana dalam melakukan aksinya. Untuk itu, dalam setiap melakukan tindakan dibutuhkan pemikiran yang matang dan mendalam. Sehingga, dengan tindakan senioritas yang baik maka yang tersisa hanyalah cinta dan kasih sayang penuh kedamaian, kebersamaan, kebahagiaan antara junior dan senior dalam kerangka sosial senioritas.
Dan seharusnya sebelum menuntut untuk dihormati oleh para junior, bukankah menghargai junior juga hal penting yang semestinya dilakukan? Karena seperti yang kita ketahui bahwa perasaan hormat akan muncul dengan sendirinya apabila orang tersebut juga bisa menghargai orang lain.