Kau datang dari Tuban, tanpa suara,
matamu berbicara tentang Ronggolawe:
seorang prajurit di ujung senjata,
berdiri di antara debu dan bara,
senja yang lebur, mengendap di dada.
Aku menunggumu di ranjang luka,
tubuhmu adalah baja dan tanah perkasa.
Seperti Ronggolawe yang berdoa
Tak menyerah pada hidup, tanpa cela.
Majapahit merapuh, katamu
tapi semangat tak pernah layu.
Kekalahan hanyalah jeda
dari perang yang abadi di cakrawala.
Kau bawa cerita yang tak berbingkai
Ronggolawe tak pulang dengan nestapa
melainkan derap kuda yang membelah udara
mengguncang bumi dengan tapak yang membara.
Sakitku, katamu
bukan akhir yang ditulis nasib.
Ia sekadar gelombang kecil
di lautan tak berbatas bibir.
Bukan kerajaan yang luruh
bukan benteng yang terhantam angin yang liar
Hanya tubuh yang belajar
mengenal cahaya di kegelapan yang pudar.
Aku mendengarmu tanpa suara
di balik matamu, kulihat Ronggolawe berjaga:
kekuatan tak bersuara
keberanian yang tak butuh nama.
Kini aku paham---
rasa sakit adalah langkah panjang
bukan belenggu yang menyusup dalam.
Kita semua adalah tubuh yang siap menghadang
meski badai datang
tak gentar pada gelap yang meradang.
Kau tunjukkan jalan tanpa garis
di mana Ronggolawe berlari tanpa tangis
dan aku tahu kini
dari Tuban kau ajarkan aku berdiri
hingga kekal menyerah di kaki.
Bandung, 26 Okteober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H