Lihat ke Halaman Asli

Sri Sutrianti

Guru IPA SMP

Bagaimana Tetap Aktif Walau Urat Kejepit

Diperbarui: 22 Oktober 2024   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Saya masih ingat saat pertama kali merasakan nyeri yang tidak biasa itu. Seperti ada bara dan aliran listrik yang menjalar dari pinggang hingga ke kaki. Sensasinya bukan sekadar rasa sakit biasa, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tajam, panas, nyeri dan perih seperti luka yang tertutup namun tak pernah sembuh. Sebagai seorang penyintas , tubuh saya sudah berulang kali menjalani nyeri yang gak jelas. Sistem kekebalantubuh kini mulai beradaptasi dengan kondisi baru. Tetapi  bagian-bagian tubuh lain terasa punya rencana berbeda.Ada Radikulopati, begitu dokter menyebutnya. Ada dua area yang jadi pencetus sakitnya:lumbal dan servikal. Lumbal, tempat segala beban fisik ditumpu, menjadi sumber rasa nyeri yang menjalar ke kaki. Sementara servikal, di leher, seperti mengundang sensasi tak nyaman yang menggerayangi pundak,  punggung, hingga lengan. Rasa sakit ini kadang datang tiba-tiba, tak kenal waktu. Kadang kala seperti bayangan, menanti saat yang tepat untuk menyerang.  Dan tak jarang datang di tengah aktivitas yang menyenangkan—sebuah gangguan yang mengingatkan saya bahwa tubuh punya aturan main sendiri.

Ketika pertama kali saya mengunjungi dokter, di ruang konsultasi  Saya diminta berbaring, menjalani serangkaian tes fisik. Setiap gerakan sederhana seolah direspon oleh tubuh dengan rasa nyeri. Kemudian X-ray  memberikan gambaran kasar. Ada penyempitan di beberapa ruas, katanya. Tapi bukan itu yang membuat saya terhenyak. MRI, dengan ketajamannya, membuktikan ada sesuatu yang lebih serius. Saraf di lumbal dan servikal saya terjepit. Sdhingga menjadikan pergerakan  menjadi sebuah perjuangan yang  penuh tantangan.

Dokumentasi pribadi

Mencari Solusi Lebih dari Sekadar Obat
Dokter menawarkan pilihan penghilang rasa sakit, tentu saja. Kapsul- kapsul dan Pil-pil kecil itu  menawarkan janji  walau sesaat. Tapi saya tahu, solusi itu bukan hanya soal obat. Obat adalah teman sementara, bukan sahabat sejati. Saya membutuhkan cara lain untuk hidup dengan radikulopati ini, untuk tetap bergerak, menjalani hari-hari tanpa menyerah pada rasa sakit. "Kamu harus mengubah pendekatanmu," kata dokter. Ini bukan soal menaklukkan nyeri, tetapi soal beradaptasi.

Maka, saya mulai mencari jalan lain. Salah satu jawabannya ada di aktivitas fisik. "Olahraga adalah kunci," dokter menekankan. Tapi tak sembarang olahraga. Olahraga favorit saya, angkat beban, harus dimodifikasi. Bukan berarti saya harus berhenti mengangkat beban, tetapi saya harus melakukannya dengan lebih bijaksana, terukur. Beban berat yang dulu saya angkat dengan percaya diri kini harus saya kurangi. Saya menemukan bahwa kekuatan sejati tidak hanya berasal dari otot besar, tetapi juga dari kontrol dan ketahanan mental.

Saya juga belajar bahwa tidak semua latihan cocok untuk kondisi ini. Lari cepat di atas treadmill, misalnya, harus dihindari. Treadmill bisa memberi tekanan ekstra pada tulang belakang lumbal, memperburuk kondisi. Sebaliknya, berjalan dengan kecepatan biasa tidak sampai ngos-ngosan adalah pilihan yang lebih aman. Aktivitas ini tetap bisa menjaga mobilitas dan kesehatan jantung tanpa memperparah rasa sakit. Seperti dalam buku-buku filsafat Timur yang pernah saya baca, gerakan sederhana bisa mengandung kebijaksanaan mendalam.

Merawat Tubuh Seperti Sebuah Karya Seni

Tubuh ini, bukan sekadar mesin biologis.  Suatu hari akan kelelahan. Tubuh ini adalah sebuah karya seni, sebuah kanvas yang terus berkembang.  Setiap nyeri, rasa sakit, suka dan bahagia, sebagai garis dan warna yang melukis cerita hidup. Seperti seorang pelukis yang tidak berhenti bekerja walau ada satu goresan yang tak diinginkan.  Begitu pula saya tidak harus berhenti menjaga  dan merawat tubuh ini hanya karena nyeri yang hadir.

Radikulopati mungkin memberikan tantangan baru. Juga mengingatkan saya bahwa hidup adalah tentang keseimbangan. Olahraga, makanan sehat, dan pola hidup yang baik adalah kunci. Sumber energi saya bukan hanya berasal dari obat, tetapi  juga dari makanan. Sayuran hijau yang kaya serat, Ikan yang mengandung omega-3, Kacang-kacangan yang penuh dengan lemak baik. Makanan-makanan ini adalah fondasi yang tak terlihat namun kuat.  Menopang tubuh agar tetap dapat bergerak, meski dengan sedikit penyesuaian. Pengidap radikulopati lumbal dan cervical disarankan untuk memperkaya asupan sayuran hijau, ikan berlemak, dan kacang-kacangan ini—mereka kaya antioksidan, omega-3, serta serat yang meredakan peradangan. Namun, makanan olahan, gula berlebih, dan daging merah, seolah menjadi musuh yang bersembunyi dalam nikmat.  Siap memperburuk peradangan, meningkatkan rasa sakit yang tak kunjung reda. Itu sebuah fakta dalam pengalaman saya.

Saya teringat kutipan dari Hippocrates, “Let food be thy medicine, and medicine be thy food.” Makanan yang kita konsumsi adalah perpanjangan dari perawatan diri. Menjaga pola makan sama pentingnya dengan menjaga rutinitas olahraga. Olahraga juga bukan sekadar alat untuk membentuk fisik, tetapi juga jalan menuju kebahagiaan. Latihan yang teratur membantu tubuh memproduksi endorfin, hormon kebahagiaan. Membantu mengurangi rasa sakit dan membuat hidup lebih menyenangkan. Itu yangg saya rasakan.

Bagi siapa pun yang mungkin mengalami hal serupa, satu pesan sederhana: Jangan pernah berhenti bergerak. Tubuh ini, seperti cerita yang sedang ditulis, butuh perhatian, butuh kasih sayang. Jangan takut untuk merawatnya dengan cara yang benar, karena setiap langkah kecil di atas treadmill, setiap pose yoga yang tenang, adalah investasi kecil yang akan membayar kenyamanan tubuh di kemudian hari. Radikulopati ini hanyalah pengingat bahwa kita semua masih memiliki perjalanan yang panjang , dan perjalanan itu lebih baik dilakukan dengan senyum dan gerakan, bukan keluhan.

Nyeri ini mungkin tidak pernah bisa  sepenuhnya hilang, dia adalah bagian dari cerita kita. Sebuah tanda bahwa kita masih di sini, masih bergerak, dan masih berjuang untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline