Harum kembang ternyata bisa menuai rasa gundah yang tak terbantahkan. Seperti malam ini, wangi Kamboja dari pohon di pinggir jalan membuatku sedih. Aku menangis, perasaanku begitu jauh menoreh kekentalan cinta lama yang harus dipisahkan. Atas nama kedudukan, rasa penghormatan atau status sosial.
Air mata mengalir memenuhi alas pandang di setiap malam tiba. Perasaanku mewirid sepi di gemuruh bathin, menguak pada kekasihku yang hilang. Tamparan demi tamparan tak menggoyahkan aku yang merindu pada anak yang kucintai. Orang tuaku selalu menghinanya dengan ludah hinaan.
Mereka seperti ingin menghapus perasaan cintaku. Aku mengatakan," Tidak" ! . Aku tidak akan tergoyahkan jika perasaan itu harus dipenggal. Aku percaya pada diriku sendiri. Tak mungkin melepaskan kekasih hati dalam perasaan ini. Keluargaku menganggap bahwa kekasihku adalah keturunan rendah dan kotor.
Tidak pantas berada di dalam keluarga berdarah biru. Namun anggapan itu kubantah, dengan mata berkaca-kaca. Aku diusir, ditendang melewati pintu kehormatan keluarga. Aku berjalan dengan sebongkah perasaan cinta yang mendalam. Menelusuri trotoar, mencari kekasihku yang sudah lama pergi.
Tidak malam ataupun siang. Debu-debu jalanan lekat menjadi teman keseharian. Dan perutku perlahan terus membesar.Berpuluh hari berpuluh malam, bahkan bulan tak kutemukan kau, kekasih hatiku. Perasaanku terus bergemuruh. Di hati ini hanya engkau yang terpatri dalam hidupku.
Aku terus berjalan dan berjalan. Kakiku menumpukan jejak di kesunyian pencarian. Perlahan aku menunduk di sudut persimpangan, menangis, sepi!. Perasaanku gundah tak menemukan yang kucari. Air mataku perlahan menetes, menetesi setiap sudut-sudut luka. Sesungguhnya siapa yang menjadi pendosa, sehingga aku harus menembus batas-batas kesunyian, bersama degup hidup anakku?.
Perut ini menunjukan secercah cahaya, pewaris cinta kasihku. Berpuluh persimpangan juga trotoar-trotoar kulakoni gundah hidup ini, dengan ribuan tetes air mata. Tak satupun diantara orang-orang di tepi itu menyapa, malah mereka kadang meludah dihadapanku.
Aku dianggap kotor dan dianggap orang gila. Bahkan perutku yang bunting ini dianggap karena disetubuhi orang-orang iseng. Sakit memang!. Tapi perasaanku telah membatu dibekukan sunyi. Ketika pagi, siang ataupun malam.
Karena keterpaksaan untuk mempertahankan hidup, aku menari di depan setiap toko, di persimpangan lampu-lampu merah, di kerumunan orang-orang.
Badan berlenggang-lengggok juga menebar senyuman. Aku bernyanyi semampuku. Uang-uang recehan menghambur begitu saja. Kadang ada juga yang iba memberiku uang untuk makan. Perlahan demi perlahan kukumpulkan uang-uang sisa makan, dan perutku semakin besar. Aku berusaha untuk mencari rumah perlindungan. Harga kamar kosan membuatku harus bekerja keras membanting tulang.
Tetapi paling tidak sekarang aku sudah bertempat walau di sudut kampung kumuh. Tidak terbayang hidupku akan seperti ini. Kebiasaan hidup yang mewah, karena rasa cinta, berganti menjadi terlunta-lunta. Namun itu tidak jadi penyesalan. Gairah hidupku mewujud untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Tak peduli tamparan sosial yang kejam, aku menikmatinya kini.