" Dimana Ibu?" Aku terus mencarinya dengan dada berdebar.
Di dalam kamar aku melihat dinding semerah darah. Lantai basah. Dadaku beku, jantungku seakan tak berdegup. Aku tergugu. Di pojok kamar teronggok sesosok tubuh di depan lelaki yang matanya memerah dan mulutnya memuntahkan bah. Tangannya memegang senjata dan wadah peluru. Aku membatu.
Tiba-tiba seperti ada badai yang menerbangkanku menghantam sosok di pojok itu. "Dia Ibuku" aku memekik melampaui langit. Kupeluk dia, kuelus dia, kuciumi dia hingga aku basah berlumuran darah. Aku raba dadanya yang basah, dingin. Sepi, tak ada lagi detak kehidupan.
Aku menoleh ke arah laki laki yang berdiri di depanku. Dia tersenyum gusar. Aku terisak di hadapannya, aku mendekatinya dan berlutut di kedua kakinya. Kemudian, tiba-tiba dia menjatuhkan senjata dari tangannya, melocoti seragam kebesarannya.
"Bapak sudah membunuh Ibumu"
" Bapak harus menyerahkan diri sekarang"
Tangisku makin kuat, aku pegang kedua kakinya. Aku berdiri, kutatap wajahnya.
" Pak, kalau bapak menyerahkan diri, aku dengan siapa, lalu Ibu bagaimana?".
Tak sadar aku pukul perutnya berulangkali. Kemudian kugigit punggung tangannya. Dia mendorong badanku, hingga terpental dan jatuh.
Aku ingat, bagaimana dulu laki- laki itu selalu mengajakku memancing di laut. Atau mengajakku bermain layang- layang, walaupun aku anak perempuan. Dia bukan hanya sekedar tempat bermanja-manja dan tempat berkeluh kesah tetapi juga tempat bercerita tentang bagaimana mewujudkan cita-cita. Dia tidak akan mau melihat anak-anaknya menderita, walaupun masa kecilnya penuh dengan penderitaan dan kekurangan. Dia adalah figur yang tak tergantikan. Dia panutan.
Tapi dia sudah berubah menjadi manusia lain. Kartu remi, meja judi dan botol whisky merubah jatidiri. Dia bukan panutanku lagi. Pembunuh berdarah dingin yang keji. Aku melihat wajahnya pucat pasi. Apakah dia tengah membuat strategi?. Dia menghela nafas panjang, kemudian menggotong jasad ibuku dan menelentangkannya di atas dingin ubin. Mulutnya membacakan do:a, kemudian dia kecup kening jasad ibu. Dia tarik tanganku, kemudian aku berada dalam pelukan dan Isak tangisnya. Tangis tanpa airmataAku tak mengerti mengapa dia berbuat sekeji itu. Bagaimana aku melanjutkan hidup tanpa ayah dan ibu. Ibu memberiku perlindungan dan pertahanan. Dan kau ayah, mengajariku merebut dan membuka jalan berbagai kemungkinan. Engkau ayah yang bijaksana, memberikanku kasih sayang, kelembutan, kehangatan dan cinta. Menciptakan tawa dan rasa riang. Meluruskan aku dari kesalahan. Namun engkau tak mampu bertahan dalam ujian kehidupan. Engkau tak mampu meledakkan keyakinan akan janji Tuhan.
Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berjalan gontai keluar. Di balik pintu tampak empat wajah adikku. Aku berdiri, kemudian menghampiri mereka. Perasaanku hampa. Kudekap mereka semua.
"Ibu sudah tiada, dan Bapak harus pergi mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada yang berkuasa"
Ya, perkara besar ini akan dibereskan Tuhan. Aku tertunduk menahan haru
Kuciumi mereka satu persatu sambil berkaca kaca. Yang Maha Asih, berikan rasa welasmu. Yang Maha memberi petunjuk, tunjukkan Arah jalanku!
Malam ini menjadi hening. Hati menjadi kering.
Biarlah,
yang pergi menjadi debu
Yang hilang menjadi abu
Yang singgah, menggalang harapan yang telah lenyap
Yang datang, menghimpun doa dari langit yang senyap
Dan malam semakin hening
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H