Bada Isya tepatnya jelang pergantian tahun Bu Kanjeng memenuhi undangan. Satu undangan untuk sekadar makan soto bersama yang terhidang secara spontan dari kelompok Dawis RT.
Tadi sore Bu Kanjeng sudah setor goreng dan ubi. Untuk camilan sambil menunggu datangnya tahun baru. Begitulah kebutuhan warga RT di tempat Bu Kanjeng tinggal.
Bu Kanjeng langsung ndlosor di tikar yang sudah digelar. Aneka hidangan kampung istimewa ( HIK) tersaji. Ada tembus goreng, kacang rebus dan teman-teman temannya. Minuman penghangatnya, ada teh ginastel ( legi panas kentel) dan wedang jahe.
Bu Kanjeng mulai nyeruput wedang jahe dan menggigit sepotong tembus goreng dengan ceplusan cabe rawitnya. Begitulah salah satu kebiasaan orang Jawa saat ada pesta rakyat dan kecil- kecilan.
Karena kegiatan diadakan di tengah jalan tak heran bila agak terganggu dengan wira- wirinya pejalan kaki lainnya. Sementara berjarak 100 meter juga sedang ada pesta bakat- bakaran ala karang taruna.
Tiba- tiba melintas Septi yang tinggi langsing ala peragawati melintas. Celana pendek kotak- kotak plus kaos hitam lengan panjang tampak serasi. Rambutnya yang agak kriwul diikat kanan kiri.
Mbak Nduk yang duduk di sebelah Bu Kanjeng langsung komen. " Gayanya seperti remaja ting- ting padahal dua bulan lalu habis melahirkan cesar"
" What..." Bu Kanjeng terkaget- kaget. Mengapa ia sampai kehilangan berita heboh ini. Padahal Ibunya Septi tiap hari ke rumah Bu Kanjeng untuk bersih- bersih rumah dan membantu pekerjaan rumah keluarga Bu Kanjeng. "Terlalu" Bu Kanjeng merasa kecolongan. Ia pun mengorek informasi lebih jelas lagi.
Bu Kanjeng mengerti kalau Mba Nduk sangat mendambakan seorang anak. Ia sudah 15 tahun berumah tangga belum dikaruniai anak. Mungkin ia pun berandai- andai bila sang bayi bisa diadopsi sebagai anaknya.
"Mengapa bayinya Septi tidak diminta Mba?" tanya Bu Kanjeng kepo.