" Yah!, besok kalau Neta ulang tahun, mama akan pulang bawa hadiah buat Neta ya..." Kata Neta anakku yang usianya menginjak lima tahun, tadi malam ketika aku menemaninya belajar. Neta sudah pandai membaca walau menulisnya belum begitu bagus, maklum masih TK.
"Ayah tidak tahu, Nak. Kan mama telponnya sama Neta sendiri," jawabku. Karena sudah hampir setahun ini Lela tidak mau berbicara padaku di telpon, ia hanya mau bicara pada Neta saja.
Neta, adalah anak semata-wayang hasil pernikahanku dengan Lela, istriku yang sekarang bekerja di Hongkong sebagai buruh migran. Sudah hampir 3,5 tahun semenjak kepergian Lela, aku sendiri yang mengurus segala keperluan Neta mulai dari menemaninya belajar, menyiapkan makannya sampai menemani tidur. Aku berperan sebagai bapak sekaligus ibu bagi Neta. Aku bekerja sebagai buruh pabrik garmen yang marak berkembang di kotaku, untuk menyerap tenaga kerja. Bila aku sedang bekerja Neta terpaksa aku titipkan pada ibuku. Karena rumahku persis ada di samping rumah ibuku. Rumah yang pada awalnya menjadi rumah impian Lela walau belum selesai pembangunannya.
Lela meninggalkan Neta sejak masih berusia 1,5 tahun. Saat itu Neta masih perlu banget kehadiran seorang ibu, dia baru belajar bicara dan berjalan. Namun karena tekad untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempunyai rumah sendiri yang kuat, membuat Lela tega meninggalkan Neta bersamaku. Untuk bekerja ke negeri yang sangat jauh menurutku.
Pada awalnya aku dan Lela sama-sama menjadi buruh pabrik garmen, aku mengenalnya dan kami berpacaran selama 6 bulan sebelum aku memutuskan untuk menikahinya. Sejak mengandung Neta, Lela keluar dari pekerjaannya karena ada aturan suami istri tidak boleh menjadi karyawan di pabrik yang sama. Awalnya memang cukup saja memenuhi kebutuhan kami berdua dengan gajiku yang tak seberapa itu, namun sejak Neta lahir kebutuhan hidup semakin meningkat. Kami juga masih menumpang di rumah ibuku, karena aku tidak mempunyai uang untuk mengontrak rumah buat kami bertiga, ibuku juga sebenarnya tidak mempermasalahkan karena beliau hanya tinggal bersama adikku saja. Sedangkan bapak sudah meninggal sejak aku dan adikku masih kanak-kanak.
Lama kelamaan hubungan Lela dan ibuku menjadi kurang baik, aku tidak mau menyalahkan keduanya. Mungkin aku yang salah, tidak sanggup menasehati dan membuat suasana enak untuk istriku. Sedangkan ibuku mungkin tidak suka dengan kelakuan Lela yang terkadang semaunya sendiri. Aku merasa tidak enak hati bila diantara mereka berdua terjadi perselisihan, walaupun itu perselisihan kecil. Ini kesalahanku tidak bisa memberikan tempat yang nyaman buat keluarga kecilku, agar bentrokan-bentrokan kecil antara mertua dan menantu tak terjadi.
" Mas, kalau kau masih sayang aku ayolah kita ngontrak. Aku tidak tahan bila setiap saat diomelin ibumu!"
"Yang sabar, Lela. Mungkin ibu hanya ingin mengajarimu menjadi istri yang baik" jawabku menenangkan Lela.
"Aku sudah tidak tahan kalau begini terus, Mas. Sedikit-sedikit diomelin, Lela capek, Mas!" Begitu keluh Lela hampir tiap hari. Aku menjadi serba salah, karena keduanya wanita yang aku sayangi dan harus aku lindungi. Namun aku tidak mampu membuat mereka nyaman, dengan berpisah tempat.
Aku juga sudah berusaha membuat usaha kecil-kecilan untuk menambah pendapatan, dengan berjualan makanan yang dibuat Lela dan aku jual pada teman-temanku di pabrik namun hasilnya tidak seberapa juga.