Lihat ke Halaman Asli

Sri Subekti Astadi

ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

Sarung Pertama dan Terakhir Buat Cecep

Diperbarui: 14 Mei 2020   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://sarunganakinstan.wordpress.com/

"Mak, aku ingin ke masjid seperti Wawan, Mak!" gunam Cecep pada emaknya yang sedang mencuci sayur kakung yang di dapat dari hasil mencari sisa-sisa di tempat sampah pasar yang tak jauh dari rumahnya.

"Boleh lah, Nak. Emak suka kalau Cecep mau ke Masjid , belajar ngaji dan belajar shalat bersama teman-teman" Jawab Mak Ijah dengan masih meneruskan pekerjaannya.

"Tapi Mak, temen-teman Ecep mekai sarung. Ecep tidak punya" Jawab Cecep yang baru berumur 7 tahun namun sudah pinter dengan belajar sendiri.

" Besok kalau emak ada duit, pasti emak belikan ya, Nak!  Sekarang pakai celanamu dulu untuk ke masjid, Emak sudah cuci bersih kemarin."

" Yang ke masjid memakai sarung semua, Mak. Encep malu kalau harus pakai celana kolor sendiri" balas Cecep dengan nadi lirih, karena takut membuat emaknya bersedih.

" Baiklah , Mak. Nanti sore Encep mau ke masjid dulu. Mak jangan lupa belikan Encep sarung kalau ada duit." Walau masih berumur 7  tahun Cecep sangat mengerti dengan keadaan emaknya, yang harus bekerja banting tulang sendiri untuk menghidupi mereka bertiga, mak, Cecep dan Tiur , adik Cecep yang baru berumur 4 tahun. Bapak Cecep sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Karena terjatuh dari gedung yang sedang dibangun. Bapak Cecep yang bekerja sebagai kuli bangunan tidak menggunakan prosedur pengaman yang benar sehingga terjatuh dan meninggal dunia saat sedang bekerja.

Emak Ijah terus melanjutkan hidupnya di kota dengan bekerja sebagai buruh serabutan yang biasa disuruh bersih-besih dan memasak di tempat orang punya gawe. Mereka mengontrak rumah petak yang sempit, dekat dengan aliran sungai yang berseberangan dengan pasar.

Walau hidupnya pas-pasan,  Mak Ijah  memperhatikan soal pendidikan anak-anaknya. Cecep sekolah di SD Negeri yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Ramadan ini terasa sangat berat buat Mak Ijah  karena sudah hampir 3 bulan tak ada yang memakai tenaganya. Adanya pandemi hampir tidak ada orang punya gawe yang mengundangnya. Dan beberapa rumah gedong yang biasa menyuruhnya bersih-bersih halaman juga tidak ada lagi. Entah karena apa, atau mungkin mereka takut Mak Ijah membawa virus kalau masuk ke rumahnya.

Untung masih ada yang peduli.  Pak RT memberinya bantuan sembako dan beberapa ribu uang dari pemerintah, katanya. Namun semua itu tentu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka bertiga. Bahkan sudah 4 bulan ini Tiur yang biasanya masih minum susu dengan dot pun diganti dengan air teh biasa. Mak Ijah  rajin ke pasar, siapa tahu ada yang mau menyuruhnya untuk mengangkat belanjaan atau mengantarkan belanjaan orang. Alhamdulilah 5000- 10.000 rupiah terkadang ia dapatkan buat nambah beli beras atau kebutuhan lainnya. Terkadang ia juga mendapat sayur-sayur yang sudah layu dan akan dibuang, ia pilihin yang sekiranya masih bisa dimakan untuk dibawa pulang. Kalau untuk ia sendiri, mak Ijah  tidak begitu memikirkan namun yang ia pikirkan adalah kedua anaknya yang masih kecil-kecil butuh makanan bergizi untuk pertumbuhannya.

Sebenarnya Mak Ijah sudah beberapa bulan yang lalu punya niat bahwa Ramadan tahun ini akan membelikan sarung Cecep yang pertama, biar Cecep bisa ke masjid bersama-temannya untuk mengaji, mendengerin ceramah dan buka puasa di masjid. Seperti teman-teman sepantarannya di kampung. Namun karena pekerjaannya macet  jarang ada yang menggunakan tenaganya, uang simpanan yang akan  digunakan untuk membeli sarung ikut kepakai buat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline