" Mboh Odhak ndenger karepem. Cah kok hola-holo dikandani ndhak ndandeh, ujuk-ujuk blayu ndok ratan, piye tah.. kakuati..!"
Bila anda mendengar percakapan semacam itu, dipastikan anda telah berada di kota Kretek atau kota Kudus tercinta. Bahasa Kudus yang khas memang terdengar agak aneh bila di dengar oleh orang lain yang bukan warga asli Kudus.
Kudus mempunyai bahasa yang khas atau dialek khas yang sampai sekarang masih dipergunakan warganya, dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar bahasa Jawa pada umumnya.
Setiap daerah pasti mempunyai bahasa dialek sendiri-sendiri yang dipakai khusus oleh masyarakat di daerah tersebut. Demikian juga dengan masyarakat lereng gunung Muria ini, mempunyai dialek khas yang dipakai oleh warga yang tinggal di sepanjang lereng gunung Muria, atau disebut dengan Dialek Muria. Dialek Muria dipakai di daerah Kudus, Pati, dan Jepara. Namun untuk Kudus sendiri masih punya kekhususan sendiri dari daerah Jepara dan Pati.
Kudus, sebagai kota kretek, mempunyai keunikan sendiri yang justru membuat mereka yang dulu pernah lahir dan dibesarkan di Kudus, jadi kangen dengan keunikan bahasa Kudusan ini.
Terbukti di grup-grup whatsaap dan FB yang anggotanya para warga Kudus yang telah merantau ke berbagai penjuru tanah air, tetap suka menggunakan bahasa Kudusan, di grup untuk mengobati kerinduan pada kampung halaman.
Apa saja keunikan bahasa Kudus, dibandingkan dengan bahasa Jawa pada umumnya. Ada beberapa hal :
1. Kata "em" dan "nem", sebagai kata kepemilikan orang kedua. Kalau dalam bahasa Jawa umumnya memakai kata " mu". Kata em untuk kata yang berakhiran konsonan, dan nem untuk kata yang berakhiran vocal.
Misalnya :
2. Kata yang diakhiri dengan "ih" berubah menjadi "eh" , misalnya :
3. Penggunaan kata "tah" untuk penekanan sebuah kalimat. Kalau di Jepara menggunakan kata "sih" dan di Pati menggunakan "leh". Atau dalam bahasa Jawa umumnya menggunakan "to".