Semalaman aku sudah tidak bisa tidur, melihat suami yang pulas dalam dengkurnya, membuat rasa kantuk yang tadi benar-benar melekat setelah sholat tarawih hilang seketika.
Membanyangkan besok jam segini aku sudah bisa di dekat Emak, kalau masih tak bisa tidur lagi besok pasti ada yang menemani, itu saja sudah menyenangkan. Jam sudah menunjukkan jam 2.00 pagi. Tak lama lagi waktu sahur tiba, sebaiknya aku sholat tahujud dulu sekarang.
Aku putuskan untuk turun dari ranjang. Mengambil air wudhu dan sholat tahajut 2 rokaat untuk memohon keselamatan perjalanan besok pagi. Setelah selesai, aku mengecek kembali tas-tas yang sudah aku siapkan dari kemarin. Satu tas rangsel lumayan besar, 1 tas koper, 2 tas jinjing berisi oleh-oleh buat Emak dan ponakan-ponakan. Aku sudah membayangkan betapa mereka menyukai apa yang nanti aku bawa. Walaupun harganya tak seberapa, berupa gelang-gelang dari batu dan kayu yang merupakan kerajinan tangan khas daerah yang aku tinggal sekarang.
Lima tahun sudah sejak kami memutuskan untuk merantau ke tanah Borneo, baru kali ini kami berkesempatan pulang mudik menjelang hari lebaran.
Aku mengingat kembali, tahun-tahun awal kami di Borneo. Semua memulai dari nol. Suami belum mempunyai pekerjaan tetap, bahkan untuk membayar uang kontrakan yang tak seberapa kami masih merasa berat. Untunglah pemilik rumah mengerti, kami diberi kelonggaran untuk membayar secara bulanan yang lebih ringan.
Lebaran tahun pertama, kami hanya bisa membeli separoh ekor ayam kampung untuk dimasak opor, agar rasa lebaran di kampung halaman tetap terasa walaupun kami ada jauh di pelosok Borneo. Suara Emak di ujung telfon membuat aku tak tahan lagi untuk tidak menumpahkan air mata kerinduan. Kami mohon maaf sebesar-besarnya, karena belum bisa menemani Emak berlebaran kala itu. Untunglah tetangga kanan kiri yang merupakan penduduk asli di sini baik, kami diundang untuk sekedar menikmati Soto Banjar dan wadai bingka waluh di rumah mereka.
Tahun kedua di perantauan, ternyata kami belum bisa pulang juga, saat lebaran tiba. Karena suamiku baru saja mendapatkan pekerjaan, di sebuah perusahaan tambang batubara. Karena belum lama bekerja, tak ada libur, jatah cuti pun masih beberapa bulan lagi. Bahkan suami tetap bekerja setelah sholat Iedul Fitri selesai. Ya sudahlah. Aku sendirian di rumah, paling hanya ke tetangga yang dekat saja yang sudah kenal. Karena kami sudah berpindah kota dari yang lebaran pertama dulu.
Ternyata di lebaran tahun ketiga, kami juga tak bisa pulang lagi. Karena lebaran tidak bertepatan dengan jatah cuti suami. Sebagai karyawan kami harus patuh pada aturan dan jadwal kerja yang sudah dibuat. Aku hanya bisa mengirimi Emak di rumah, dengan Amplang, makanan khas daerah tempat aku bermukim sekarang. Sambil menangis ditelfon, mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Emak, karena ternyata tak bisa mudik lebaran lagi. Untunglah Emak pengertian, mengikhlaskan kami tidak datang secara fisik, namun seiap saat aku menelfon Emak, menemaninya melalui suara.
Syukur Alhamdulillah, walaupun jauh dari kampung halaman, aku berusaha memasak hidangan lebaran ala kampung kami di Jawa. Ketupat, lepet, opor ayam, membikin kue keciput, kacang bawang dan semprit sagu. Dan ternyata tetangga yang datang suka dengan hidangan yang kami sajikan, karena lain dari yang lain.
Lebaran tahun ke empat, suamiku baru saja pindah ke perusahaan lain, lain kota pula. Kami baru saja pindah boyongan ke kota ini, yang merupakan kota sebelah dengan kota yang sebelumnya, namun tempatnya jauh lebih pelosok. Karena desa tempat kami tinggal sekarang hanya bisa di tempuh dengan speetboad selama 3 jam atau melalui jalan lumpur di perkebunan kelapa sawit selama hampir empat jam untuk mencapai kota.
Waktu lebaran kami masih berbenah rumah kontrakan yang baru, rumah yang sangat sederhana. Berupa rumah panggung kayu yang lumayan tinggi, dan luas.