Lihat ke Halaman Asli

Sri Subekti Astadi

ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

Kemarau di Bulan Pebruari

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

resah ini tak terjabar ketika pagi-pagi mentari menyengat di ujung-ujung pelataran yang tersekat sengatan tak biasa yang gantikan rinai melesat engkau masih juga diam tercekat harusnya air itu mengalir dahsyat bukan kering kerontang erat mengendap "biarkan aku sejenak menemanimu Jeng...." rengekmu lewat WA yang membuatku sedikit terhibur musim tak pengaruhi setiamu pada ketololan yang sulit kulebur engkau memang tak harus hadir apalagi menabur benih-benih yang tak kan mungkin bersemi di kemarau ini Pebruari harusnya hujan sehari-hari tapi siapa bisa menebak hati yang terus sendiri memilah-milahnnya sulit sekali mana Pebruari mana hati yang tersakiti jadi biarkan kemarau ikut datang merasuki aaah..sekali ini saja.....!!!? biarin meredup sendiri bersama burung-burung yang bernyanyi... melebur perlahan dalam sisa-sita tulus hati menikmati serah yang datang tiada henti menghitung sia-sia setiap butir tetes air yang mengalir air mata yang lagi punya arti buat kami sudahlah toh Pebruari hanya 28 hari setelahnya engkau boleh teruskan berlari melangkah , menari bahkan menghilang pergi aku belum ingin sendiri maafkan... aku. Kudus , 17 Pebruari 2015 ; 09:05 'salam fiksi' Dinda Pertiwi sumber gambar




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline