Lihat ke Halaman Asli

Upaya Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak dalam Kebudiluhuran

Diperbarui: 13 September 2024   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kekerasan terhadap anak sering diistilahkan dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse. Semua tindakan kekerasan kepada anak - anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Jika hal ini terjadi, maka akan menjadi rantai dan budaya kekerasan. Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pelaku kekerasan terhadap anak justru adalah orang yang diharapkan oleh sang anak untuk mendapatkan perlindungan, orang yang mereka patut dipercaya, seperti orangtua atau kerabat anak, pengasuh, orang di sekitar tempat tinggal anak, dan guru.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pemahaman dan persepsi anak tentang dunia yang masih minim menyebabkan mereka rentan terhadap perkembangan situasi sekitar yang kadang begitu kompleks. Mereka belum cukup pengalaman untuk menelaah semua informasi yang ada. Itulah sebabnya, Anak sangat membutuhkan pendampingan orang dewasa untuk memberikan pemahaman terhadap yang dipikirkan dan yang ditemuinya. Namun, sebagian orang dewasa yang diharapkan dapat berperan sebagai "guru" justru memberikan kekerasan terhadap anak yang berdampak fisik maupun psikis hingga merenggut jiwanya.

Kekerasan terhadap anak sering diistilahkan dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse. Menurut Fontana sebagaimana dikutip oleh Goddard, kekerasan terhadap anak atau perlakuan salah (child abuse) adalah perlakuan salah terhadap anak secara fisik dan dilakukan oleh orang dewasa yang menimbulkan trauma pada anak bahkan membawa pada kematian.Sedangkan, definisi kekerasan terhadap anak menurut Hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak di 18 Provinsi dan Nasional adalah suatu tindakan yang menyebabkan kerugian fisik, psikis, maupun seksual. Berangkat dari definisi tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan yang disengaja yang melukai, membahayakan, dan menyebabkan kerugian fisik, emosional/psikis, dan seksual yang dilakukan oleh orangtua maupun pihak-pihak lain

Kekerasan yang terjadi pada anak-anak akan membawa banyak dampak, seperti gangguan kemampuan sosial, emosi, dan kognitif selama hidupnya, kesehatan mental (depresi, halusinasi, dan lain-lain), serta perilaku beresiko kesehatan, seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seksual yang lebih dini datangnya. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Jika hal ini terjadi, maka akan menjadi rantai dan budaya kekerasan.

Menurut Stephens dalam Sularto, anak-anak tidak hanya berada dalam risiko, tetapi mereka sendiri merupakan risiko.Anak-anak tidak hanya menjadi korban kekerasan, tetapi mereka juga menjadi pelaku kekerasan setelah sebelumnya mengalami perlakuan yang sama. Mereka belajar dari orang dewasa bahwa hanya dengan kekerasan mereka bisa menyelesaikan segala bentuk permasalahan yang mereka hadapi dan bisa bertahan hidup. Akibatnya, anak-anak pun menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar harus berhadapan dengan hukum. Menurut Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dalam konferensi.

Faktor Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak

 Ada beberapa faktor terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, yaitu faktor karakteristik pribadi anak, karakteristik pelaku kekerasan, lingkungan fisik, dan budaya. Penelitian Nugroho sebagaimana dikutip oleh Purnianti memperlihatkan bahwa faktor pencetus terjadinya kekerasan terhadap anak diantaranya adalah akibat orang tua terbiasa menerima perlakuan kekerasan sejak kecil (sehingga cenderung meniru pola asuh yang telah mereka dapatkan sebelumnya), masalah relasi suami istri, orangtua kurang mampu mengendalikan emosi, orangtua kurang memahami aspek perkembangan anak, kurang dukungan sosial, anak mengalami cacat tubuh, anak yang tidak diharapkan (hamil diluar nikah), dan kelahiran anak yang hampir merenggut nyawa ibunya sehingga anak diyakini sebagai anak pembawa sial. 

Disamping faktor-faktor yang telah diuraikan di atas, penyebab lain terjadinya kekerasan adalah kekerasan secara sosial diterima di masyarakat. Dalam ranah sosial, anak memang sangat rentan mengalami berbagai tindak kekerasan, karena mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah. Selain itu, keadaan anak dalam usianya yang muda dan tak berdaya mudah sekali menjadi sasaran kekerasan, eksploitasi, penyalahgunaan, diskriminasi, dan lain-lain. Kekerasan dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan dengan sasaran siapapun, sehingga setiap orang berpotensi menjadi pelaku maupun korban dari tindakan tersebut. Sebagai individu harus memiliki kewaspadaan terhadap tanda - tanda awal kekerasan. Tingkatan kepekaan terhadap lingkungan sekitar, kelola emosi dengan bijak, dan bangunlah jaringan dukungan sosial yang dapat menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Selalu waspada terhadap situasi tertentu untuk menghindari risiko yang tinggi.

Ruang Lingkup dan Pelaku Terjadinya Kekerasan

Menurut Hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak, ruang lingkup atau lokus terjadinya kekerasan meliputi: 1) Rumah dan sekitarnya; 2) Sekolah dan taman bermain; 3) Kantor polisi, rumah tahanan, dan penjara; 3) Jalanan, halte bis, terminal bis, dan kendaraan umum; 4) Tempat pariwisata, tepi pantai, dan daerah sepi; 5) Wilayah konflik/perang.

Sebagai contoh Kekerasan terhadap anak yang terjadi di ranah keluarga yang dilakukan oleh orangtua seakan mendapat legalitas atau permakluman dari anak. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan anak-anak dari Hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak di 18 Provinsi dan Nasional, dimana ada kecenderungan dari anak-anak yang membenarkan bahwa jika bersalah, mereka pantas dihukum. Hal serupa juga terjadi pada anak-anak dampingan Yayasan Sahabat Anak yang menerima dan memaklumi ketika mereka mengalami kekerasan (fisik dan verbal) yang dilakukan oleh orang tua mereka. Bagi mereka, kekerasan yang mereka terima adalah hal yang wajar dilakukan oleh orangtua mereka karena ulah mereka yang malas membantu orangtua, malas belajar, nakal, dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline