Gadis jebolan Lida 2020 kompetisi TV Swasta harus puas di nomor 24 besar dari 70 peserta. Masuk di dunia entertain, tidak cukup wajah cantik, cerita sedih, tetapi perlu talenta, kompetensi diri dan profesi. Bakat seni muncul secara otodidak, mengantarkan sebagai juara pertama dalam lomba berdendang se kabupaten. Mengikuti berbagai ajang kompetisi motivasinya untuk menjadi tulang punggung keluarga. Dalam lomba "Pesona Wajah Indonesia 2019" gadis bergigi gingsul ini menyabet juara pertama. Sayang, gagal melaju ke Jakarta karena tidak ada biaya untuk akomodasi dan transportasi yang harus ditanggung sendiri.
Tulisan ini merupakan kisah nyata seorang gadis kampung berusia 18 tahun, yang menjadi pejuang keluarga. Bermodal suara merdu dan wajah cantik, gadis kampung dari keluarga sederhana tanpa fasilitas ini bersekolah sambil menerima job nyanyi di kota. Anak bungsu dari 4 (empat) bersaudara menjadi harapan utama bagi keluarganya, mengingat kakaknya ada yang menjadi kuli bangunan, tenaga honorer di Kantor Desa, dan pengasuh anak saudara. Keluarganya beranggapan job menyanyi bayarannya lebih besar, dibanding pekerjaan kakak-kakaknya.
Mereka hanya tahu bahwa tidak setiap menyanyi pasti mendapakan bayaran. Padahal lebih banyak sekedar berbagi, memberi, dan menyantuni dengan suara merdu yang dimiliki. Artinya menyanyi tidak mendapat bayaran karena hanya menyumbang lagu, walau keluar biaya kostum dan riasan. Inilah modal sosial yang harus dikeluarkan untuk acara ulang tahun anggota komunitas yang diikuti. Masalahnya, lebih banyak menyanyi gratis daripada mendapat bayaran.
Apalagi pandemi Covid-19 saat paling berat karena tidak ada job sama sekali. Mencari uang mengandalkan menyanyi dari panggung ke panggung dirasa sangat sulit. Beban gadis mungil itu pun semakin berat, karena harus menanggung kebutuhan keluarga di kampung. Wajah gadis itu selalu ceria di depan keluarga, fens dan lingkungannya, sehingga tidak tahu kepedihan batinnya. Batinnya menjerit, menangis bila ada "telepon" dari orangtua meminta uang untuk menutup kebutuhan hidup karena tidak pegang uang sepeserpun, tetapi harus dipenuhi. Dalam kondisi begini selalu ada pertolongan Alloh SWT melalui seorang ibu yang empati dan simpati.
Anak ini terpaksa bersandiwara karena tidak tega melihat orang tua kecewa dan sedih, padahal dia sudah berjanji menjadi tulang punggung keluarga. Padahal bayaran saat menyanyi dari panggung ke panggung maksimal Rp 200.000,00, sebelum ikut LIDA 2020. Setelah mendapat predikat jebolan LIDA 2020, duta propinsi, artis daerah honornya naik maksimum Rp 2.000.000,00. Untuk mendapatkan bayaran maksimum perlu perjuangan luar biasa, latihan tiap hari sampai larut malam. Menempuh perjalanan menuju lokasi acara sampai 2 (dua) hari 2 (dua) malam. Sangat menguras, energi, emosi, pikiran dan menjalani kehidupan malam di tengah orang dewasa berkeluarga sendirian.
Menyandang sebutan artis daerah, duta propinsi pun semakin membuatnya tidak berdaya, tidak menjadi pribadi utuh, dan tidak merdeka. Mengapa ?. Hidupnya dikendalikan pejabat pemda, sejak pulang dari Jakarta. Tidak boleh tinggal bersama kedua orang tuanya di kampung, hidup sederhana, apa adanya. Namun dititipkan dari satu keluarga ke keluarga lain di kota sendirian, dipisahkan dengan keluarga yang selalu memberi doa dan kehangatan kasih sayang. Selama 6,5 (enam setengah) bulan pindah di 3 (tiga) keluarga, dengan aturan berbeda.
Keluarga pertama melarang gadis polos itu keluar rumah tanpa alasan jelas, termasuk berkumpul dengan teman sekolah, dan tanpa uang saku. Di keluarga kedua dan ketiga lebih longgar, namun tetap tidak pegang uang saku sepeserpun. Padahal sebagai gadis belia pasti ada kebutuhan pribadi rutin yang harus dipenuhi setiap bulan. Hidupnya dibuat tergantung orang lain, pulang kampung harus diantar tim manajer, tidak boleh naik motor.
Pikirannya masih sangat polos, sederhana, dengan dititipkan di tiga keluarga secara berpindah merasa berada di "zona nyaman", dininabobokkan. Tidak pernah menyadari jiwa raganya tergadaikan, tidak berdaya, tidak mandiri, tidak merdeka. Gadis belia itu dijadikan "obyek", "komuditas" dan "pansos" oleh lingkungan sosialnya. Akibatnya pola pikir, gaya hidup, perilaku, gaya bicara, dan sikap seperti mereka, masih remaja dipaksa dewasa.
Dalam kondisi serba tidak berdaya, ternyata menjadi perhatian seorang ibu yang mengamati dari jarak sejak audisi. Ibu itu memberi perhatian, doa, wawasan, motivasi agar gadis itu menjadi dirinya sendiri, pribadi yang utuh. Tidak "terjajah", tidak dibawah pengawasan dan tekanan mereka, pejabat pemda maupun tim manajemen yang mengatur hidup dan karirnya. Tidak pernah ada perjanjian kontrak tertulis antara gadis itu dengan tim manajemen yang mengatur hak dan kewajiban.
Kenyataan tim manajemen "menguasai" dan "mengancam" bila kos harus membayar sendiri, termasuk untuk makan. Hal ini menimbulkan praduga selama dititipkan di keluarga ada biaya hidup selama 6,5 bulan. Siapa yang menanggung ?. Ada misteri yang tidak diketahui gadis itu karena tidak ada informasi jelas dari mereka (orang dewasa berkeluarga). Lagi-lagi pikiran polosnya tinggal di keluarga diakui sebagai orang tua angkat. Padahal keluarga itu tidak pernah terucap mengangkat dia sebagai anak angka, hanya sebatas anggota komunitas yang termuda.
Lagi-lagi ibu yang simpati dan empati sekedar ingin "berbagi, memberi, dan menyantuni" gadis belia dengan caranya sendiri. Memberi motivasi, dukungan moril dan materiil, doa, rela melakukan apapun agar gadis belia itu dapat mewujudkan niat suci menjadi pejuang keluarga dan menggapai impiannya. Kebanggan tiada tara bisa melihat gadis tersebut meraih gelar kesarjanaan sekaligus penyanyi dangdut yang elegan dan bermartabat. Caranya dengan memberi pesan, wawasan, teladan, melalui media sosial, DM (direct massage) . Gayungpun bersambut, gadis dan keluarga menerima dengan senang hati walau belum pernah bertemu fisik.