Setiap anak tidak dapat memilih siapa orang tuanya, termasuk status sosial, pangkat, derajat, asal usul dan kewarganegaraan dari mana. Artinya anak itu lahir sudah satu paket dengan kondisi ekonomi, pendidikan, status sosial, agama, kedudukan, derajat, dari orang tuanya.
Namun, tidak menutup kemungkinan, dalam perjalanan hidup anak dipindah tangankan kepada orang lain. Caranya adopsi, diangkat, diasuh, dititipkan orang lain dengan segala konsekwensi hak dan kewajibannya.
Kewarganegaraan orang tua menurun kepada anaknya, kecuali ada perististiwa lain seperti perkawinan, adopsi, naturalisasi, sengaja mengajukan pindah menjadi warga negara lain.
Semua itu ada proses dan prosedur panjang, dengan syarat-syarat tertentu. Artinya aturan setiap negara berbeda untuk mengatur perpindahan kewarganegaraan. Tidak semudah membalik tangan, tetapi ada syarat, prosedur yang harus dilengkapi dan dilalui.
Anak milenial sering melontarkan candaan pingin pindah kewarganegaraan. Keinginan itu muncul karena merasakan semakin sulit mencari pekerjaan di negeri sendiri.
Lowongan kerja minim, jumlah lulusan lebih banyak dibanding lowongan yang tersedia, dan sistem KKN masih kental. Kompetensi dan profesionalisme, belum dihargai maksimal. Seloroh anak milenial ini tidak dapat diabaikan, karena SDM berkualitas dan potensial bisa jadi mewujudkan niatnya, kita yang rugi karena potensinya tidak dimanfaatkan.
Mereka mengekpresikan rasa kecewa, karena ijazah pendidikan tinggi, plus kompetensi ternyata belum jaminan mendapat pekerjaan. Persaingan semakin ketat, sehingga bekalnya bukan hanya intelektual tetapi dipadukan dengan emosional dan spiritual.
Terlepas dari itu semua, apakah benar hidup di negeri orang lebih terjamin, aman, nyaman, fasilitas lengkap dan serba mudah. Apalagi bekerja di luar negeri ekspektasinya mendapat gaji dengan mata uang yang bila dikonversi ke rupiah selalu lebih tinggi.
Kita selalu melihat orang lain dari segi capaiannya, tanpa melihat proses yang telah dijalani. Akibatnya selalu melihat:"Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri", artinya apa yang dimiliki orang lain terlihat lebih indah dari milik sendiri.
Mereka lupa ada peribahasa :"Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri masih lebih baik di negeri sendiri". Artinya sebagus dan senyaman di negeri orang lebih baik di negeri sendiri karena ada perasaan bangga dengan negeri sendiri.
Hal ini yang selalu menjadi pertimbangan untuk memutuskan pindah kewarganegaraa. Orang selalu melihat dari segi enak dan nyamannya tinggal di negara orang lain, belum merasakan segi tidak enaknya.