Tidak pernah terbayang tahun 2020 menjadi tahun yang istimewa, spesial, penuh kenangan, memendam rasa rindu, cerita duka dan air mata. Seumur-umur baru mengalami sholat Idul Fitri di rumah, lebaran sepi, halal bi halal secara daring. Para PNS, pegawai BUMN, Multinasional, Swasta "merasakan" cuci besar massal dengan gaji penuh karena kerja dari rumah.
Pelajar, mahasiswa seakan libur panjang, karena belajar, kuliah juga dari rumah. Para pemuka agama tidak menjadi iman, pemimpin kebaktian di tempat ibadah masing-masing agama. Semua kegiatan perkantoran, sekolah/kuliah, ibadah dilakukan di rumah (stay at home).
Dampak dari semua kegiatan dilakukan di rumah, maka para buruh di "rumahkan", di PHK karena tidak ada kegiatan produksi. Penjual warteg, gorengan, cilok, bakso, mie ayam, bubur kacang ijo, nasi kuning, nasi uduk sepi pembeli dan berhenti jualan. Tukang ojek konvensional, online sepi karena tidak ada penumpang.
Pegawai hotel, restoran, mall, cafe, menganggur, bahkan kehilangan pekerjaan. Para musisi, artis, penyanyi, seniman, pemahat, pelukis, dalang, sinden, pemain band, gamelan, kehilangan job. Padahal para pekerja di sektor informal ini juga sama-sama tetap harus memenuhi kebutuhan primer terutama makan. Bagi yang mempunyai tabungan dapat memanfaatkan untuk menutup kebutuhannya.
Masalahnya, bagi yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, tidak bekerja berarti tidak makan. Padahal asupan gizi seimbang diyakini dapat menambah daya tahan tubuh seseorang, termasuk terpapar virus corona. Pemerintah membuat regulasi untuk mengatasi Covid-19, diakui sangat dilematis seperti simalakama.
Artinya untuk membuat keputusan dalam kondisi pandemi Covid-19 sulit, serba salah tetapi harus diambil agar ada kepastian. Berbagai regulasi untuk meringankan beban seperti bebas denda pajak kendaraan bermotor sampai 31 Agustus 2020untuk Propinsi DIY. Keringanan, penundaan, angsuran pembayaran UKT untuk mahasiswa.
Diberlakukan keadaan darurat, PSBB, selama lebih dari 3 (tiga) bulan untuk mencegah penularan Covid-19 roda perekonomian benar-benar semakin terpuruk. Khususnya para pekerja sektor informal, tidak ada pendapatan dan semakin menderita. Kondisi ini menimbulkan gerakan spontanitas, solidaritas, kesetiakawanan, kegotongroyongan dari berbagai komunitas, perorangan, CSR perusahaan, untuk meringankan beban kebutuhan para pekerja informal.
Muncullah paket sayur mayur yang digantung dipinggir jalan, gratis bagi yang membutuhkan. Dibuka dompet donasi untuk dibelikan paket sembako yang dibagikan untuk orang-orang yang terdampak Covid-19. Disisi lain juga memunculkan kreativitas dan inovasi dengan berjualan sayuran, makanan, buah-buahan, kebutuhan pokok secara online.
Covid-19 masih menjadi ancaman yang tidak tahu kapan berakhirnya. Kesehatan masyarakat tetap menjadi prioritas, tetapi roda perekonomian juga harus berjalan beriringan supaya tidak terjadi resesi. Jalan tengah pun disepakati PSBB dilonggarkan, tetapi dalam melakukan aktivitas wajib mentaati protokol kesehatan.
Antara kesehatan dan ekonomi saling berkaitan dan bersinergi, harus jalan beriringan, semua penting, dan menjadi prioritas yang harus diperhatikan. Cuma untuk kasus pandemi Covid-19 ini diakui saling berseberangan karena untuk memutus rantai penyebarannya, semua aktivitas dilakukan dari rumah. Hal ini mengingat virus corona belum ada obat dan vaksin, yang penularannya melalui droplet saat batuk dan/atau bersin.
Oleh karenanya masyarakat perlu hidup berdampingan dengan Covid-19 saat melakukan kegiatan di luar rumah. Setiap orang, keluarga, tetangga menjaga kesehatannya sendiri. Jalan tengah yang ditentukan perlu beradaptasi dengan kebiasaan baru (AKB), supaya dapat beraktivitas tanpa terpapar Covid-19.