Masih terbayang dalam ingatan ketika belum ada listrik masuk desa, jalanan gelap gulita saat malam hari. Kalau jalan kaki di malam hari penerangan mengandalkan sinar bulan, senter, atau membawa obor dan daun "blarak" (daun kelapa kering). Belajar dengan lampu sentir, yang sering menimbulkan jelaga hitam, teplok, atau petromak bagi yang mampu membeli. Dapat dibayangkan kalau malam hari hujan, gelap, jalan becek, bila tidak hati-hati dapat terpelecet.
Seminggu sekali menyetrumkan accu ke kota sekedar untuk dapat menyetel TV hitam putih. Nonton bareng (nobar) siaran ketoprak dengan tetangga kanan kiri, adalah hal biasa. Mereka sudah sangat riang duduk lesehan menggelar tikar nonton acara TVRI sampai selesai. Maklum tahun 1970 an TV, radio, kendaraan bermotor, termasuk barang mewah yang masih jarang dimiliki oleh orang desa.
Namun semua itu tinggal kenangan, dan kondisi ini tidak pernah dialami oleh generasi milenial, karena listrik sudah masuk ke pelosok desa. Walau diakui, di desa wilayah Indonesia bagian Timur masih merasakan kegelapan di malam hari karena belum ada aliran listrik, apalagi sinyal provider.
Setelah listrik masuk desa, suasana desa mulai berubah dan berbenah. Rumah penduduk dan jalan desa terang benderang. Para pelajar dan mahasiswa belajar lebih giat dan perekominian pedesaan menggeliat. Apalagi di perkotaan listrik menjadi tumpuhan industri, sumber energi, sarana hiburan, penghasil panas dan penghasil gerak.
Artinya listrik bukan sekedar penerang dalam kegelapan, tetapi juga dapat menggerakkan kehidupan, yang pada era teknologi informasi dan komunkasi ini semakin dibutuhkan. Semua orang mempunyai ketergantungan dengan energi listrik, baik untuk kegiatan di dunia nyata dan maupun maya.
Apabila SUTET 500 kV Ungaran-Pemalang tiba-tiba ada gangguan yang menyebabkan pemadaman (blackout), seperti yang terjadi pada tanggal 4 Agustus 2019, berimbas pada semua aktivitas kehidupan. Tentu hal ini dapat menimbulkan bencana dan kerugian. Berita viral di media massa dan media sosial ketika terjadi pemadaman mendadak selama 6 jam di wilayah Jabodetabek, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Kerugian tidak hanya dialami oleh para ibu yang menyusui karena stok ASI mengalami kerusakan. Dunia industri mengalami kerugian selama pemadaman, lalulintas darat, udara, laut terganggu. Termasuk perjalanan kereta bawah tanah dan KLR yang memanfaatkan listrik.
Aktivitas di dalam rumah tangga pun dapat terganggu, yang tadinya serba praktis, tinggal pencet tombol atau menyentuh layar "touch screen", harus kembali ke manual. Masalahnya semua urusan di rumah itupun sudah terkonsep memakai listrik. Coba perhatikan apakah masih ada rumah tangga yang memiliki sumur dengan fasilitas kerekan dan ember untuk menimba ?
Di desa masih bisa dijumpai sumur dengan falisitas untuk menimba, bagaimana di perkotaan padat penduduk ?. Peralatan rumah tangga seperti mesin cuci, tempat menanak nasi, setrika, semuanya tergantung pada listrik. TV, komputer, ipad, handpone, baterainya harus diisi dengan tenaga listrik.
Singkat kata, semua aktivitas yang memanfaatkan listrik sebagai energinya terhenti. Komunikasi, pelayanan berbasis internet terganggu dan terhenti. Dunia perbankan tidak dapat melakukan transaksi karena sedang off line.
Penerbangan terganggu, berapa orang yang dirugikan karena tertundanya bertemu dengan rekan bisnis?. Pelayanan rumah sakit terganggu, pabrik mengalami kerugian karena gangguan pada proses produksi atau gagal produk.