Setiap orang mempunyai kebutuhan hidup, untuk memenuhinya diperlukan biaya. Walaupun ada barang dan jasa yang diperoleh tanpa biaya alias gratis.
Kebutuhan hidup bermacam-macam sesuai dengan pola pikir, pola hidup, dan gaya hidup. Ada orang yang "merasa cukup" ketika kebutuhan primer (pokok) yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan tercukupi secara standar.
Bila kondisi "merasa cukup", sudah dirasakan, selain dapat mensyukuri nikmatNya, dada dilapangkan dan pikiran lebih tenang, tenteram.
Bukan berarti tidak ada kemauan dan sudah "mati rasa" untuk meraih kebendaan dan kehidupan duniawi, tetapi semuanya disesuaikan dengan kemampuan dan pendapatan.
Jadi neraca keuangan pendapatan dan pengeluaran minimum seimbang, syukur masih bisa menabung
Namun ada orang yang berprinsip kalau tidak berhutang, kapan dapat memenuhi kebutuhan, apalagi yang sekunder dan tersier ?
Harus diakui kebutuhan saat ini semakin banyak dan bervariasi, tergantung status sosial, pangkat, kedudukan, lingkungan, adat, budaya, keyakinan, domisili.
Berdomisili di desa berbeda dengan di kota, di desa bahan makanan dan sayuran dapat dipetik dari lingkungan rumah. Kalaupun membeli harganya lebih murah, langsung dari petani.
Sementara di kota harganya berlipat karena ada ongkos transportasi, tenaga, resiko rusak. Di sisi lain, di desa pengeluaran biaya sosial, menyumbang orang yang punya hajad pernikahan, sunatan, selamatan, yang tidak terprediksi, dan bersamaan.
Kembali ke masalah berhutang, berdasarkan pengamatan ada 3 (tiga) kelompok orang. Pertama, orang yang tidak mau berhutang karena kehati-hatiannya dalam menerapkan keyakinan tentang riba.
Untuk memenuhi kebutuhannya pantang berhutang, tetapi dengan menabung. Konsekwesinya harus penuh perhitungan, bersabar dan jeli memilih bentuk tabungan, supaya jumlah tabungan dan harga barang dapat menyesuaikan.