Media sosial sebagai media berbasis online menjadi tempat untuk berbagi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan sesama pengguna sebagai sarana pergaulan sosial di dunia maya. Youtube, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan lain-lain, sebagai media sosial yang sering digunakan dalam menjalin komunikasi personal maupun komunitas. Kenapa orang bermedia sosial ?
Di era informasi ini, media sosial sebagai media untuk menjalin hubungan pertemanan (jejaring), aktualisasi diri, dan media promosi. Tentu setiap orang mempunyai alasan berbeda untuk memanfaatkan media sosial, namun tujuan utama sebagai media interaksi dan komunikasi secara online. Wajar bila bermunculan group yang anggotanya mempunyai kesamaan asal sekolah, angkatan, tempat tinggal, status, hobi, minat dan bakat.
Merebaknya pemanfaatan media sosial menjadi tempat yang paling cepat, murah dan mudah, tidak saja untuk menyebarkan berita bermanfaat tetapi juga berita yang tidak benar, palsu, bohong yang sering disebut hoaks. Oleh karena itu para pemakai media sosial semestinya lebih bijaksana ketika mendapat berita yang dikirim dari teman sesama anggota group, ataupun yang sering menyebut dari lapak sebelah, tetangga sebelah.
Artinya setiap mendapat berita apapun isinya wajib dibaca dengan seksama, hati-hati, dan dipikirkan, isi, makna kiriman beritanya. Sangat tidak bijaksana bila menerima berita dibaca sekilas langsung di sebarkan secara berantai ke semua teman, grup biar mendapat sebutan "orang pertama" yang mempunyai berita.
Berita palsu (hoaks) tidak hanya di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, tetapi juga kesehatan. Hoaks yang cepat beredar bahkan menjadi viral seakan "membius" penerima karena menyakinkan dibanding yang sebenarnya. Apalagi penerima berita itu tanpa didasari pengetahuan karena minimnya referensi yang pernah dibaca.
Akibatnya tanpa pikir panjang langsung disebarkan kepada orang lain. Begitu seterusnya tanpa ada upaya untuk mencari klarifikasi, apalagi menghentikan hoaks. Prinsipnya hoaks itu dapat menimbulkan kebimbangan, kekacauan, saling berprasangka buruk, sehingga dapat menimbulkan perdebatan dan perpecahan.
Apalagi hoaks bidang kesehatan, untuk menyembuhkan suatu penyakit misalnya dengan ramuan tradisional, setelah diteliti secara ilmiah sesuai kaidah ilmu kesehatan ternyata bertolak belakang. Akibatnya bukan menyembuhkan, tetapi semakin memperparah penyakitnya. Siapa yang bertanggung jawab bila sampai menimbulkan korban jiwa?
Bukan berarti dilarang memanfaatkan ramuan tradisional. Semua itu harus melalui serangkaian penelitian, dibuktikan secara ilmiah berdasarkan hasil laboratorium yang teruji kebenarannya, tentu akan mendapatkan rekomendasi dari departemen kesehatan, BPOM, MUI.
Kembali ke masalah hoaks kesehatan, perlu mensikapi secara bijaksana dengan membaca pelan, dipahami, dan ditanyakan kebenarannya kepada pihak-pihak yang mempunyai kewenangan. Hal ini mengingat hoaks itu sering "mencatut" nama institusi, lembaga, perguruan tinggi, profesi kesehatan agar berita tentang kesehatan itu diyakini dan dibenarkan khalayak.
Perlu mencari tahu kebenaran berita tersebut dari referensi yang telah dicantumkan dalam berita hoaks. Bila masih ragu, dapat bertanya pada pihak yang berwajib dan/atau berwenang tentang kebenaran berita itu. Biasanya telah memiliki perangkat untuk mendeteksi kebenaran berita. Artinya penerima berita kesehatan yang masuk ke media sosialnya tidak langsung copy paste, menyebarluaskan ke group WA, Instagram, Twitter.
Lebih baik tidak menjadi "peserta" menyebar hoaks, caranya "thinking before posting" (berpikir sebelum memposting. Dengan demikian secara langsung sudah memutus berita berantai yang ternyata isinya palsu. Daripada waktu dihabiskan untuk membaca berita hoaks dan menjadi "peserta penyebar hoaks" lebih baik waktunya untuk kegiatan yang lebih bermanfaat.