Siapa yang tidak bahagia dan bangga mempunyai anak yang kecerdasan intelektual diatas rata-rata dibanding anak pada umumnya. Bisa dibilang genius, soal-soal matematika, fisika, kimia, sebagai permainan yang menyenangkan dan mengasyikkan.
Wajar bila selalu mendapat nilai sempurna setiap ulangan, lomba olimpiade, dan ujian sekolah. Juara olimpiade diberbagai kesempatan dan tingkatan, adalah hal biasa.
Pendek kata kesuksesan dan prestasi selalu mengiringi dalam keseharian. Piala, piagam penghargaan berjejer dan tersusun rapi menghiasi rumah dan sekolahnya, menjadi kebanggan dan motivasi bagi siapa saja yang melihatnya. Decak kagum, sambil bibir berucap "luar biasa", anak ini makanannya apa, dan bagaiman belajarnya ?.
Anak genius dengan segala prestasi yang membuat semua orang kagum, dimata lingkungan sosialnya nyaris tidak pernah mengalami kegagalan dalam capaian akademiknya.
Ibaratnya semua halangan, tantangan, rintangan untuk menembus lubang sebesar jarumpun dapat dilalui dengan gemilang. Pendek kata semua proses yang berkaitan dengan intelektual cepat dipahami, dimengerti dan diselesaikan.
Soal-soal pelajaran sulit yang bagi orang lain harus bersusah payah memahami dan perlu penjelasan berkali-kali dapat diselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Logika berpikirnya cepat berjalan dan dapat menyelesaikan dengan sigap, cekatan, dan benar.
Dibalik semua itu apakah anak genius juga memiliki intelektual secara sosial, spiritual, dan emosional dengan baik ?. Artinya dapat menjalin hubungan secara horisontal dan vertikal dapat seimbang, selaras dan serasi ?
Demikian juga dalam mengelola emosinya, ketika terjadi friksi-friksi yang dialami dalam pergaulan sosial ?. Jujur saya bukan ahli dibidang ini semua, tetapi terlalu berani untuk mengungkap tulisan yang bukan ranahnya.
Bukan maksud untuk menggurui, tetapi sekedar berbagi dari pengalaman dan pengamatan melihat fenomena anak-anak genius yang ditemui dalam lingkungan sosial.
Tidak dapat disangkal, anak genius secara intelektual mempunyai otak cemerlang. Namun dibalik kehebatan itu (walau tidak semuanya demikian), ternyata pola pikirnya yang selalu ideal, sempurna, tidak dapat menerima "sesuatu" yang asal-asalan, apalagi kegagalan.
Jadi ekspektasinya terlalu tinggi dan tidak boleh gagal, semuanya harus sukses, berhasil. Pola pikir demikian ini kadang membahayakan pada diri dan lingkungannya, apabila tidak ada yang memahami apalagi mengarahkan dengan pendekatan norma-norma agama, sopan santun, etika, kebiasaan dan hukum.