Komunitas K-JOG kembali mengadakan acara kelas heritage dalam Pameran naskah-naskah kuno Keraton Yogyakarta tanggal 29 Maret 2019. Pameran naskah kuno diselenggarakan dalam rangka "Mangayubagya 30 Tahun Sri Sultan Hemengku Buwono X Bertahta", diadakan selama satu bulan mulai tanggal 7 Maret -- 7 April 2019.
Pagelaran Keraton yang biasanya sebagai ruangan terbuka disulap menjadi dua ruangan yaitu sisi timur ada 13 naskah, dan sisi barat 14 naskah kuno. Naskah-naskah itu merupakan koleksi KHP Widya Budaya, Museum Sonobudoyo, Widya Pustaka Pakualaman dan Balai Bahasa Yogyakarta. Di setiap pintu masuk ada seorang prajurit Keraton dengan baju khas dengan memegang tombak, yang bertugas secara bergiliran.
Semua naskah kuno asli tersebut masih terawat rapi, tetapi tidak boleh dipegang oleh pengunjung sehingga dimasukkan dalam ruangan kaca. Tata letak diatur sedemikian rupa agar setiap pengunjung dapat runtut memahami alur perjalanan sejarah. Para pengunjung wajib masuk ruangan di bagian timur terlebih dahulu, baru ruangan bagian barat.
Ruang pameran ber AC dengan penerangan lampu, sehingga naskah jelas terlihat. Sebelum masuk semua barang bawaan harus dititipkan petugas, kecuali alat tulis bila diperlukan. Artinya HP pun harus dititipkan karena pengunjung dilarang memotret. Untuk mendapatkan informasi ada petugas yang menjelaskan dan/atau membaca tulisan singkat berisi tentang naskah kuno tersebut, atau mencatatnya.
Masalahnya, saat berkunjung bersama komunitas K-JOG saya tidak membawa alat tulis. Padahal untuk bisa menulis harus mempunyai bahan yang bisa ditulis. Akhirnya saya harus mengunjungi pameran lagi. Ini sebagai konsekwensi mengikuti kegiatan K-JOG, yang mewajibkan setiap peserta menulis di Kompasiana.
Di sinilah makna bergabung dengan komunitas K-JOG selalu dapat meng"charger" semangat para anggotanya, dengan kegiatan yang diadakan. Tidak ada ruginya bergabung dengan komunitas K-JOG, selain silaturahmi dapat mengekspresikan ide/gagasan.
Kembali ke soal pameran naskah kuno, sebelum masuk ruang pameran, pandangan tertuju kata-kata bijak dari Sri Sultan HB X:"Merangkai jejak peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat berarti mengkrontruksikan ingatan emosional agar menumbuhkan kesadaran untuk memaknai sejarah secara benar". Selanjutnya kata bijak lain berbunyi:"Dari karya-karya susastra lahirlah etika Jawa sebagai sumber acuan nilai-nilai pendidikan karakter manusia Jawa, sehingga dapat bermakna bagi kehidupan nyata".
Pameran naskah kuno ini selain memperingati 30 Tahun Sri Sultan HB X bertahta, juga sebagai momentum untuk merajut kembali sejarah Yogyakarta bagi generasi muda. Hal ini dimaksudkan agar generasi milenial dapat menghargai dan mengingat sejarah perjuangan bangsanya. Bahwa bangsa ini berdiri dan merdeka, terlepas dari penjajahan, ada proses panjang dan perlawanan kepada penjajah serta penuh perjuangan dan pengorbanan nyawa, darah, air mata, dan harta benda.
Semua naskah kuno ditulis dengan huruf Jawa halus, sangat rapi, yang setiap halaman ada hiasan dengan tinta warna dan tinta emas. Ada 27 naskah yang dipamerkan, sebagai bagian dari 75 naskah yang dibawa Inggris pada saat terjadi geger Spehi tahun 1812. Naskah tersebut telah dikembalikan dalam wujud digital. Namun dari 75 naskah itu hanya 27 naskah yang dapat dibuka secara digital.
Naskah kuno asli ini memuat babad, dimulai dari Sejarah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Isi perjanjian Giyanti Kerajaan Mataram dibagi menjadi 2 yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengku Buwono I dan Kasunan Surakarta untuk Pakubuwono III.
Berdasarkan perjanjian Giyanti tersebut secara de facto dan de jure mengakhiri kerajaan Mataram. Ini adalah taktik Belanda yang terkenal dengan politik "devide et impera", memecah belah dan menguasai.