Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Cara Penjual Menjalin Relasi dengan Pelanggan di Pasar Tradisional

Diperbarui: 19 Maret 2019   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pasar tradisional (KOMPAS.COM/TRI WAHYUNI)

Pasar tradisional masih menjadi tempat belanja yang paling menyenangkan untuk membeli kebutuhan pokok seperti sayur mayur, jajan pasar, dan bumbu-bumbu dapur dengan aroma khas. Pasar menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli secara langsung dapat bertatap muka dan berdialog. 

Pembayaran secara tunai dari dompet pembeli kepada penjual, sungguh mempunyai sensasi tersendiri yang tidak pernah didapatkan di pasar modern karena kasirnya bekerja sesuai SOP. 

Kasir pasti tidak boleh bercanda apalagi bercerita dengan pembeli karena harus konsentrasi, cepat, tepat menghitung jumlah item barang dan harga yang harus dibayarkan. 

Sering pembeli tanpa membawa uang tunai, tinggal menggesek dengan kartu ATM atau kartu kredit. Kesannya mentereng bukan ? Seperti para sosialita ketika harus membayar di pusat perbelanjaan bergengsi di ibu kota. Di pasar tradisional mana ada fasilitas gesek, uang tunai menjadi alat pembayaran setiap transaksi.  

Berbelanja di pasar tradisional, masih ada tawar menawar dan harga persahabatan. Artinya pembeli yang sudah menjadi pelanggan seperti saudara, sehingga penjual melepas dengan harga rendah asal  sudah ada selisih harga (keuntungan) walau sedikit. Inilah yang disebut dengan istilah :"Tuna sathak, bathi sanak" (bhs. Jawa), yang sering diucapkan para penjual di pasar tradisional. 

Makna istilah adalah: "Lebih baik merugi, asal mendapat saudara". Filosofi versi Jawa dalam menjalin hubungan dengan pelanggan. Bahwa dalam transaksi perdagangan di pasar tradisional bukan hanya proses jual beli. Namun pertemuan pembeli dan penjual dipasar sekaligus bertukar informasi terkini, menjalin silaturahmi sebagai bagian dari ritme kehidupan, dan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.

Ini adalah cara penjual untuk menjalin relasi dengan pelanggan yang sudah sering membeli dagangannya. Ketika sudah terjalin hubungan penjual dan pembeli secara baik, terjadilah kepercayaan (trust), yang perlu dipegang oleh kedua belah pihak. Konsekwensinya, harga barang tidak lagi menjadi faktor penentu, karena kualitas dan kejujuran penjual lebih diutamakan. 

Sumber ilustrasi: surabaya.bisnis.com (Choirul Anam)

Kalau barangnya baik katakan baik, kalau sudah busuk jangan dicampur dengan yang baik. Penjual yang jujur, ramah, murah senyum, sabar, biasanya mempunyai pelanggan banyak. Bandingkan dengan penjual yang jutek, galak, berlaku tidak jujur ketika menimbang atau mengelabuhi kualitas barang. Tindakan ini justru merugikan penjual sendiri, karena pembeli tidak suka dengan upaya kecurangan.  

Hubungan yang harmonis antara penjual dan pembeli di pasar tradisional inilah yang sering menjadi kerinduan untuk terus datang dan belanja kebutuhan bahan makanan dan bumbunya. Kalau pelanggan lama tidak muncul, ternyata dirindukan dan disambut dengan suka cita. Dagangannya cepat habis, modal kembali, mendapat keuntungan yang memberi manfaat. 

Barang belanjaan kalau perlu diantarkan sampai ke rumah tanpa dipungut biaya tambahan sepeserpun alias gratis. Seperti sebuah iklan kartu kredit:"Tidak semua hal dapat dibeli dengan uang". 

Hubungan seperti persaudaraan antara pembeli dan penjual yang sudah terjalin di pasar tradisional tidak dapat diukur dengan sejumlah uang. Tidak memperhitungkan untung rugi, bensin yang dikeluarkan untuk mengantar barang belanjaan, adalah bentuk pelayanan tambahan untuk pelanggan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline