Indonesia sebagai daerah rawan bencana baik karena faktor alam maupun ulah manusia. Faktor alam, mengingat posisi Indonesia berada di sesar aktif berpotensi gempa dan tsunami yang menimbulkan korban jiwa meninggal, cidera dan mengungsi. Sesar Indo -- Australia, kebawah Eurasia, Lembang, Opak, Polo dan lain-lain, sewaktu-waktu sebagai dapat menimbulkan gempa baik berpotensi tsunami ataupun tidak berpotensi.
Erupsi gunung berapi yang masih aktif juga menjadi penyebab bencana. Fenomena terbaru, musibah karena likuifaksi tanah seperti terjadi di Palu, Donggala dan Sigi. Tanah padat tiba-tiba menjadi cair karena gempa, sehingga bergerak, berpindah, dan terbalik seperti diaduk-aduk. Terakhir tsunami yang datang mendadak tanpa peringatan dini, telah memporakporandakan daerah pesisir Selat Sunda.
Bencana disebabkan ulah manusia, menebang pohon tanpa menanami lagi, sehingga hutan menjadi gundul. Air hujan tidak dapat tersimpan oleh akar pepohonan, akibatnya terjadi tanah longsor, dan di musim kemarau terjadi bencana kekeringan, langka air.
Ulah manusia juga, membuang sampah sembarangan di got, saluran air, sungai tanpa disadari menyumbat aliran air, menyebabkan air menggenang di tempat yang lebih rendah, bahkan banjir bandang. Selain itu bencana kebakaran hutan dan pemukiman di daerah padat penduduk, akibat instalasi listrik yang tidak standar, menjadi penyebab arus pendek.
Setiap terjadi bencana selalu menimbulkan korban jiwa meninggal, luka berat/ringan, kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Mereka para "penyintas", dari kata sintas dalam KBBI berarti terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Jadi para penyintas adalah orang yang selamat dari suatu bencana.
Dalam kondisi darurat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, papan), sehingga memerlukan uluran tangan orang lain. Di tempat pengungsian, pastinya tidak nyaman, harus berbagai tempat untuk makan, tidur, dan memanfaatkan bersama air bersih, toilet. Wajah-wajah pasrah, sedih, pedih, kehilangan anggota keluarga, harta benda, dan harapan selalu menjadi pemandangan di pengungsian.
Ketika menjadi penyintas dan di tempat pengungsian tidak ada sekat agama, usia, jenis kelamin, status sosial, pangkat, derajad, dan pilihan politik, semuanya berbaur di titik-titik yang sudah ditentukan agar mudah mendapatkan bantuan secepatnya. Merasa senasib sepenanggungan, tidak mempunyai harta benda yang tersisa kecuali apa yang dipakai dan dibawa.
Pertama yang dibutuhkan sesaat setelah bencana adalah makanan siap saji, karena kebutuhan perut tidak bisa ditunda, apalagi untuk anak-anak kecil. Bantuan biasanya terlambat datang karena terkendala jalan, jaringan komunikasi terputus, walaupun apa yang dibutuhkan sudah terkumpul dari para donatur yang cepat tanggap dan mempunyai empati untuk segera meringankan penderitaan.
Namun berita menyentak dan memprihatinkan karena KPK berhasil melakukan Operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atas proyek sistem penyediaan air minum di wilayah Palu-Donggala Sulawesi Tengah. Sungguh, siapapun yang menyelewengkan dana proyek di daerah bencana, sepertinya sudah "mati rasa", tidak mempunyai empati, simpati, belas kasihan, apalagi perasaan. Hati nuraninya sudah tidak bisa merasakan penderitaan para pengungsi.
Orang demikian bagaikan "monster", mayat hidup yang raga dan jiwanya masih utuh, tetapi "rasa" sudah melayang entah kemana. Akibatnya tanpa merasa berdosa melakukan korupsi disaat terjadi bencana.
Saat tidak ada bencana pun korupsi dilarang, apalagi saat bencana. Bantuan bencana dikorupsi oleh orang-orang yang mendapat amanah. Dimanakah hatinuraninya dan kepekaan rasa empati, simpati ?.