Kesehatan menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi sejajar dengan kebutuhan pangan, papan, sandang, dan pendidikan. Karunia yang tidak dapat dinilai dengan rupiah adalah sehat secara fisik dan psikis, sehingga dapat produktif menghasilkan karya memberi manfaat bagi orang lain. Oleh karena itu untuk menjaga kesehatan wajib memberi asupan gizi seimbang bagi organ tubuh, dan asupan rohani, jiwa (batiniah) sesuai agama dan kepercayaannya, agar pikiran selalu positif, bersih, jujur, ikhlas, tenang, damai, bahagia dan sejahtera. Suasana batin ini dapat memancarkan aura wajah yang berseri-seri, semangat, senyum, sopan, ramah, dan akrab, sehingga berpengaruh pada lingkungan kerja, sosial yang nyaman, dan menyenangkan. Sungguh sangat indah kumpulan individu yang selalu bersatu walau sejatinya ada sekat-sekat perbedaan golongan, asal-usul, agama, dan pilihan politik.
Orang sakit secara fisik berawal dari kondisi psikis yang selalu berpikiran negatif, khawatir, takut, sakit hati, sedih, iri hati, sedih melihat orang lain bahagia, dan bersorak gembira bila temannya tertimpa petaka. Kondisi jiwa demikian sejatinya tidak sehat, sehingga dapat stres, tertekan, insomia, resah, gelisah, tidak tenang, kurang mensyukuri nikmat dan karuniaNya. Pikirannya tidak realistis, "mabuk" kekuasaan, kekayaan, kehormatan, sehingga melanggar norma adat, kesusilaan, agama dan hukum. Orang demikian menderita "sakit" jiwanya, tetapi tidak pernah menyadari, namun dapat merugikan lingkungan sosialnya. Kehadirannya di lingkungan membuat orang lain tidak nyaman, merugikan, menyakitkan, karena sikap, ulah, tindakan dan perilakunya.
Sebaliknya ketidakhadirannya membuat suasana mejadi nyaman, tenteram dan menyenangkan. Artinya orang tersebut sudah tidak mempunyai manfaat bagi lingkungannya, karena selalu merugikan orang lain. Sejatinya juga orang demikian sudah "mati rasa/hati/sanubari", walaupun secara fisik sehat, tetapi jiwanya kosong rentan terserang berbagai penyakit. Kondisi jiwa sakit dan tidak disadari, karena obsesinya sangat tinggi melebihi kemampuan dan kondisi sebenarnya. Hidup dalam "fatamorgana", bayangan kenikmatan dan kejayaan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak elegan, terhormat, dan sewajarnya.
Model orang yang sakit "jiwa"nya tetapi tidak menyadari ini tidak mungkin terjangkau pelayanan kesehatan oleh BPJS, akibatnya penyakitnya semakin parah dan merugikan orang lain. Artinya BPJS hanya memberi pelayanan untuk orang yang dinyatakan sakit secara fisik oleh dokter di pelayanan kesehatan primer. Namun selama orang tersebut tidak berobat ke dokter keluarga dengan fasilitas BPJS, tidak akan terdiagnose menderita sakit jiwa. Kalaupun berobat, dokter mengdiagnose hanya penyakit yang kasat mata mengganggu organ-organ tubuh. Sakit "jiwa"nya yang berkepanjangan dan menimbulkan kerugian lingkungan sosialnya tidak pernah terdeteksi.
Dalam kondisi demikian BPJS membuka akses pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan data per 1 Desember 2018, jumlah peserta terdaftar dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berjumlah 207.834.315 jiwa atau 78,73 persen total penduduk Indonesia.
Selama kurun waktu 2014-2017 biaya pelayanan Rp 251 triliun, dengan pemanfaatan 640,2 juta untuk seluruh pelayanan (fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, rujukan tingkat lanjut, fasilitas kesehatan pendukung (apotik dan optik). Tiap hari yang memanfaatkan fasilitas layanan untuk seluruh tingkatan 612.000 peserta. Dibalik masyarakat mendapat pelayanan kesehatan melalui BPJS, ternyata ada defisit anggaran, karena iuran 2014 -- 2017 sebesar Rp 235,06 triliun (Kompas, 17/12/2018). Artinya pemasukan lebih kecil Rp 235,06 tririun dari pengeluaran Rp 251 teriliun. Akibatnya BPJS menunggak pembayaran untuk rumah sakit, dokter, dan tenaga kesehatan. Kondisi ini bila dibiarkan akan berdampak pada pelayanan kesehatan kepada masyarakat, yang sudah mulai "dokter minded".
Masalahnya, kenapa terjadi defisit anggaran ?. Sebagai orang awam berpikir sederhana. Defisit terjadi karena jumlah iuran BPJS tidak sebanding klaim dari rumah sakit. Sebelum ada BPJS adalah Askes, iuran langsung dipotong gaji dari para PNS/ASN, dan pegawai BUMN, Swasta, perusahaan, jadi tidak terasa, walau itu uangnya sendiri. Sebelum 2014 para PNS mendapat kartu Asuransi Kesehatan (Askes), jarang dimanfaatkan bila sakit karena fasilitas pelayanan kesehatan mulai tingkat pertama, rujukan kurang menyenangkan dibandingkan membayar sendiri. Apalagi masyarakat umum yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, bila sakit harus membayar sendiri, tentu sangat memberatkan, sehingga muncul sindiran dalam buku "Orang Miskin Dilarang Sakit", karangan Eko Prasetyo, terbit tahun 2004.
Sejak 1 Januari 2014 semua WNI wajib menjadi peserta BPJS secara mandiri atau peserta yang mendapat bantuan pemerintah, dengan segala kewajiban dan hak yang menyertainya. Kewajiban harus membayar iuran setiap bulan, yang besarnya tergantung kelas yang akan diambil bila harus rawat inap. Adapun besarnya iuran BPJS Kesehatan kelas I Rp 80.000,- (sebelumnya Rp 59.500,-), kelas II Rp 51.000,- (sebelumnya Rp 42.500,-), kelas III Rp 25.500,- (sebelumnya Rp 25.000,-). Sistem iuran ini dibuat dengan sistem gotong royong, iuran digunakan untuk membiayai peserta yang membutuhkan yang sedang di rawat di rumah sakit (https://www.panduanbpjs.com/tarif-bpjs-kesehatan-terbaru/).
Defisit juga karena diduga "kesadaran" setiap orang untuk membayar iuran BPJS kalau diakumulasikan per tahun untuk kelas I sebesar Rp 960.000 (Rp 80.000,- x 12 bulan), kelas II Rp 612.000,- dan kelas III Rp 306.000,- per orang per tahun. Andaikan dalam keluarga ada 4 (empat) orang, tinggal dikalikan iuran yang harus dibayar. Kebanyakan orang berpikir hanya membayar iuran tanpa memanfaatkannya, karena memanfaatkannya berarti sakit. Sakit itu terasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu. Ada yang menysikapi sakit sebagai ujian, cobaan, karunia, kalau disuruh memilih tentu lebih senang sehat daripada sakit. Iuran BPJS ibaratnya sebagai:"sedia payung sebelum hujan", artinya berjaga-jaga sebelum datang suatu musibah.
Iuran BPJS tiap bulan ini berkaitan dengan rasa solidaritas, kesetiakawanan, kegotongroyongan, saling menolong, subsidi silang. Untuk membayar khususnya bagi peserta mandiri perlu ada niat kuat dari hati nurani yang paling dalam, dan hal ini tidak dimiliki oleh setiap orang. Akibatnya peserta BPJS sering menunggak dan baru teringat ketika akan membutuhkan (saat sakit).
Tunggakan iuran dari peserta ini mengakibatkan anggaran BPJS defisit. Sementara untuk penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS), iuran dibayarkan dan/disubsidi oleh pemerintah. Akibatnya jumlah penduduk saat ini sudah mencapai 265 juta jiwa, terdiri 133,17 juta jiwa laki-laki dan 131,88 juta jiwa perempuan (BPS, 2018), terasa memberatkan APBN