Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Publikasi Terindeks "Scopus", Membelenggu atau Memperlancar Karir?

Diperbarui: 17 Desember 2018   05:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Kompas

Kompas cetak pada 10 Desember 2018 menurunkan tulisan opini Deddy Mulyana guru besar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad berjudul: "Calo Scopus". Singkat, padat, dan membuat penasaran pembaca untuk menyimak. Publikasi terindeks Scopus di kalangan perguruan tinggi dan peneliti menjadi "trend", agar karya ilmiah hasil penelitian dapat terindeks Scopus. 

Sebenarnya istilah Scopus itu berupa pangkalan data pustaka memuat abstrak dan sitiran artikel jurnal akademik di bidang sains, teknik, kedokteran, dan ilmu sosial (termasuk kesenian dan humaniora). Scopus memuat 22.000 judul dan 5.000 penerbit, 20.000 diantaranya sebagai jurnal terakreditasi secara internasional. Penerbit Scopus adalah Elsevier, tersedia secara daring dengan model berlangganan.

Para peneliti, dosen, dan penyandang jabatan fungsional (pustakawan, dokter, guru, dan lain-lain) dapat melakukan penelitian yang menghasilkan karya tulis ilmiah. 

Dosen dan peneliti pasti sangat paham penelitian yang terindeks Scopus, karena dapat meningkatkan reputasi ilmiahnya dalam kancah komunikasi ilmiah secara internasional. Apalagi penelitian yang mempunyai unsur inovasi, kebaruan sehingga mempunyai hak paten, dapat didaftarkan di Dirjen Haki Kemenhumham. 

Untuk  jabatan fungsional lainnya juga terbuka, asal memenuhi syarat dan ketentuan. Karya ilmiah setelah direview oleh para ahli di bidangnya, layak dimuat dalam jurnal ilmiah terakreditasi secara internasional, dapat terindeks dalam Scopus. 

Untuk mewujudkan jurnal ilmiah terakreditasi internasional pun perlu proses dan jalan panjang, jadi tidak asal membuat jurnal, harus ada redaksi, terbit teratur, tata letak tidak berubah, bidang kajian, mitra bestari, online, bahasa Inggris, aturan redaksi syarat pemuatan artikel.

Sering, jurnal ilmiah yang awalnya susah untuk mendapatkan artikel, setelah terakreditasi nasional baik oleh Dikti maupun LIPI, redaksi sampai menolak naskah. Padahal jurnal terbit setahun sekali atau 2 (dua), 3 (tiga), 4 (empat) kali (jarang ada jurnal ilmiah setahun sampai 4 kali karena proses  review juga perlu waktu. 

Setelah terakreditasi nasioanal --apalagi internasional-- naskah ilmiah sampai antri untuk menunggu dapat dimuat. Naskah yang dimuat dalam jurnal terakreditasi internasional penulisnya tidak mendapat honorarium, namun di Indonesia masih ada anggaran honorarium penulis yang dihitung per halaman, maksimum 20 halaman.

Konsekuensinya bila karya ilmiah masuk dalam indeks Scopus, maka nama penulis otomatis mendapat pengakuan oleh komunitas ilmiah tingkat dunia karena sudah melalui seleksi dan poses panjang yang sangat ketat. 

Dan ditambah lagi tulisannya menjadi referensi orang lain untuk menghasilkan karya tulis ilmiah baru. Reputasi penulis jurnal ilmiah semakin "bertengger" di tangga atas dan kepakarannya diakui dunia oleh kaum cendekiawan. Hal ini bukan saja mendapatkan angka kredit untuk meniti karirnya ke puncak sebagai Profesor di Perguruan Tinggi, tetapi juga mendatangkan pundi-pundi rupiah dengan label "konsultan", narasumber, pakar, penasihat, sampai pelindung.

Dosen dituntut untuk melakukan penelitian sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Permenristekdikti No.20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, untuk memacu para profesor dan lektor kepala mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal internasional bereputasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline