Ibadah haji adalah rukun Islam ke-5 yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang mampu menunaikannya yaitu memiliki kesanggupan biaya serta sehat jasmani dan rohani. "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah" (Q.S. Ali imran:97).
Melaksanakan kewajiban haji, hanya sekali seumur hidup (HR. Muslim). Dalam UU No.13 Tahun 2008 yuncto Peraturan Menteri Agama no.13 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler, juga ditetapkan bahwa: "Ibadah haji adalah rukun Islan kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu memenuhinya".
Setiap orang Islam berhak mempunyai mimpi untuk menyempurnakan rukun Islam yang ke-5 melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu. Makna mampu bukan hanya secara ekonomis dapat membayar Ongkos Naik Haji (ONH) dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga mampu secara fisik, psikis, sosial, pengetahuan, dan emosi.
Artinya untuk naik haji perlu persiapan yang matang agar dapat mengerti, memahami dan melaksanakan syarat, rukun, wajib, sunah, dan larangan haji. Naik haji bukan sekadar perjalanan "wisata rohani", tetapi mengandung nilai "ritual", yang memberi kesan pembelajaran dan manfaat materi maupun maknawi. Artinya, setelah naik haji semakin bertambah ketaqwaan serta keimananan seseorang yang diimplentasikan dalam sikap, perilaku, dan tindakannya.
Namun persoalan ibadah haji bukan sekedar mampu secara ekonomis untuk membiayai Ongkos Naik Haji (ONH), tetapi berdasarkan niat dan keyakinan seorang muslim. Banyak orang secara ekonomi sudah mampu untuk membayar ONH, tetapi belum ada niat di hatinya untuk segera mendaftar dan pergi haji. Berbagai alasan pembenar selalu menjadi jawaban setiap ada pertanyaan: "kapan mendaftar dan naik haji?".
Anak-anak masih kecil, khawatir meninggalkan rumah, pekerjaan, karier, bisnis, kebutuhan hidup belum terpenuhi, bahkan dengan hewan peliharaan, menjadi jawaban yang umum dan klise.
Padahal sejatinya dalam hati ada rasa khawatir dan "takut" karena belum siap ketika di Tanah Suci mengalami kejadian aneh, tidak masuk akal yang sering diceriterakan orang. Mata hatinya belum "terbuka", sehingga sering menyebut "belum terpanggil", padahal Allah SWT sejatinya sudah memanggilnya, cuma hatinya masih berat untuk melaksanakannya.
Sebaliknya, ada orang Islam yang sudah mempunyai niat menggebu dan keyakinan naik haji dengan bulat, tetapi belum bisa mewujudkannya karena secara ekonomi belum mampu. Apakah salah mempunyai mimpi untuk naik haji?
Walaupun ketika niatnya disampaikan kepada keluargnya, bagaikan mimpi disiang bolong, seperti "si pungguh merindukan bulan". Artinya mengharapkan sesuatu yang mustahil, sulit atau hampir tidak dapat dicapai/diraih bila melihat kondisi yang ada. Apalagi besarnya ONH setiap tahun terus naik karena komponen biaya dihitung berdasarkan nilai tukar dolar terhadap rupiah.
Namun pergi haji itu diakui penuh "misteri", yang sulit diterima oleh akal, tetapi dapat menjadi kenyataan, kasat mata yang dirasakan dan dinikmati. Banyak orang yang sudah mampu untuk membayar ONH, tetapi belum melaksanakan ibadah haji, sebaliknya orang yang hidupnya pas-pasan karena rajin menabung bertahun-tahun dapat melunasi ONH.
Apalagi menabung di bank, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, artinya rajin menabung dengan niat untuk melunasi ONH, ternyata mendapatkan kemudahan dan kelancaran rejeki. Setelah dikurangi untuk memenuhi kebutuhannya, sebagian diniatkan untuk mendaftar haji.