Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Mulai "Branding" Museum Agar Diminati Generasi Milenial

Diperbarui: 3 Desember 2018   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta ternyata tidak hanya mendapat sebutan sebagai kota budaya, sejarah, pariwisata, pendidikan, perjuangan, bekas ibukota RI, tetapi juga sebagai kota museum. Betapa tidak di Yogyakarta ini ada 44 museum dari 435 museum di Indonesia (Statistik Kebudayaan, 2017). 

Artinya jumlah museum 10,11 persen berada di Yogyakarta. Kondisi ini semakin memperteguh  Yogyakarta sebagai kota sejarah dan pariwisata serta pendidikan, mengingat fungsi museum sebagai  wahana rekreasi, menambah pengetahuan, dan informasi sejarah perjuangan.

Di Yogyakarta dari 44 museum itu yang paling sering mendapat kunjungan anak-anak sekolah adalah Museum Dirgantara, Museum Biologi, Museum Sonobudaya, Museum Monumen Yogya Kembali. Ullen Senlalu biasanya untuk orang asing dan keluarga, tiketnya termasuk mahal (Rp 40.000,-) dibanding museum pemerintah, mengingat yang mengelola swasta pengunjung dilarang memotret. 

Namun diakui konsepnya bagus tentang dinasti Kerajaan Mataram yang penuh aura mistis. Ketika kunjungan berakhir mendapat suguhan minuman beras kencur satu gelas kecil. Terbayar harga tiket dengan pemandu yang ramah, jelas, dan setiap kali keluar ruangan selalu berkata:"yang terakhir menutup pintunya ya". Memang tiap ruangan ada pintu masuk dan keluar yang selalu tertutup.

Museum yang lain tetap sepi pengunjung karena persoalan klasik pemasaran, manajemen, dan preservasi. Selain itu masih ada masalah, kebiasaan orang Indonesia belum sampai taraf mengagendakan berkunjung ke museum sebagai kebutuhan. 

Padahal harga tiket masuk seharga Rp 3.000,- bahkan gratis, itupun tidak membuat tertarik masyarakat. Bandingkan dengan di luar negeri tiket masuk bisa sampai Rp 2,8 juta dan antrinya panjang, karena museum dikemas sedemikian rupa, sehingga tempat untuk kursus memasak, . 

Di Indonesia berkunjung ke museum ketika PAUD, TK oleh ibu guru diajak berkunjung ke museum diantar orang tua masing-masing. Setelah SD, SMP, SMA, mahasiswa sudah tidak ada lagi agenda study tour yang salah satunya obyeknya berkunjung ke museum. Paling ke obyek wisata pantai, alam, budaya (menikmati tari-tarian), belanja oleh-oleh makanan dan souvenir.

Museum tetap sepi pengunjung di tengah gemerlap dan keramaian kota Yogyakarta. Bahkan ketika mendengar istilah "museum" pun yang terbesit dalam pikirannya sepi, sunyi, gelap, benda-benda kuno, bahkan aura mistis. 

Padahal sejatinya koleksi museum itu mengandung nilai-nilai perjuangan, strategi perang, kekompakan pejuang dan rakyat, pengorbanan harta dan nyawa, rasa kekeluargaan, kegotong royongan, kesatuan dan persatuan , semangat patriot, heroik melawan penjajah Belanda dan Jepang yang menyengsarakan rakyat.

Salah satu museum yang berkaitan dengan perjuangan adalah Museum Sandi, satu-satunya yang ada di indonesia, bahkan dunia. Museum ini berdiri tanggal 29 Juli 2008, dengan tujuan mengenal maalah "persandian", media pembelajaran generasi milenial. 

Sandi sangat penting ketika masa perjuangan, dengan kurir untuk menyampaikan pesan kepada teman seperjuangan yang berada di lain tempat. Sejarah kegiatan persandian, sejarah perkembangan ilmu persandian mulai Kriptografi klasik dan modern, evaluasi peralatan sandi buatan Indonesia dan luar negeri yang pernah digunakan dalam persandian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline