Bukan sekedar latah kalau saat ini perguruan tinggi di Indonesia mempunyai visi misi mendunia karena tuntutan perubahan menuju era global. Suka tidak suka harus merubah mindset (pola pikir) civitas akademika dan tenaga kependidikan (tendik), memasuki era kesejagadat, yang tidak bisa ditunda lagi. Apalagi masuk era disrupsi 4.0 yang bukan sekedar melangkah kedepan dengan menaiki tangga step by step, tetapi dituntut melakukan loncatan dan terobosan serta berpikir "out of the box".
Masalahnya belum semua orang siap memasuki era yang dapat memarginalkan siapapun yang tidak mempunyai bekal kompetensi. Ibaratnya dalam satu pesawat itu tidak semua penumpang benar-benar sudah siap tinggal landas, masih sibuk "shelfi" dan bermedia sosial, padahal pesawat sudah siap membawa penumpang ke angkasa, handphone belum dimatikan. Dapat menganggu keselamatan penerbangan bukan ?.
Demikian juga di perguruan tinggi, walau visi dan misinya mewujudkan universitas berkelas dunia (world class university/wcu), pada realitanya tidak mudah seperti membalik tangan. Selain usaha keras agar memenuhi kriteria WCU, juga mengubah "mindset" seluruh civitas akademika dan tendik tidaklah mudah.
Selama ini masih terjebak dengan kerja rutinitas, sekedar menggugurkan kewajiban. Kegiatan Tri Dharma perguruan tinggi, untuk penelitian berhenti di laporan karya ilmiah, dan target masuk jurnal terakreditasi nasional dan internasional.
Sedang untuk penelitian yang inovatif sampai menghasilkan hak paten yang terdaftar di Dirjen Haki masih sangat sedikit. Ini tantangan bagi dosen, juga mahasiswa untuk bukan sekedar lulus tepat waktu tetapi berapa lama "masa tunggu" sampai mendapatkan pekerjaan.
Demikian juga tendik dituntut untuk melakukan terobosan, inovasi dan loncatan menuju ke WCU. Tuntutan kinerja profesional, sopan, ramah, dan berorientasi meningkatkan pelayanan kepada civitas akademik mempunyai andil yang tidak bisa diremehkan. Walaupun jajaran pimpinan masih mendudukkan tendik dari kaca mata yang berbeda dibanding dosen. Memang tendik bukan dosen, semua mempunyai diskripsi tugas yang sangat berbeda, dosen mencerdaskan mahasiswa, tendik memberi pelayanan kebutuhan dosen dan mahasiswa.
Namun bukan berarti dalam pengembangan kariernya mendapatkan perlakukan yang berbeda. Hal yang kasat mata perpustakaan dan pustakawan diperlukan untuk akreditasi program studi versi BAN PT maupun AUN. Sekecil apapun perannya, tanpa ada perpustakaan dan pustakawan pasti mengurangi penilaian dalam akredikatasi.
Masalahnya perpustakaan dan pustakawan itu sering hanya diingat dan dibutuhkan saat akreditasi agar borangnya terisi dengan baik. Setelah akreditasi selesai peran dan perhatian itupun semakin menghilang, baru dibutuhkan 5 tahun ketika harus akreditasi lagi. Begitu seterusnya, berulang-ulang.
Walau diakui sejak tahun 2009 pustakawan mendapat apresiasi untuk dimasukkan dalam ajang bergengsi "akademisi berprestasi". Namun pengembangan kariernya semakin tidak jelas karena masih berlakunya Permenristek dan Dikti No.49 Tahun 2015 tentang Kelas Jabatan di Lingkungan Kemenristekdikti.
Tidak ada kelas jabatan pustakawan utama, hanya pustakawan madya. Padahal realitasnya ada jabatan pustakawan utama.
Kondisi ini seperti dikatakan oleh Masdar Hilmy, "Kendala menuju perguruan tinggi berkelas dunia, pertama regulasi awalnya didesain untuk mengatur, mengembangkan, meningkatkan kualitas, alih-alih memberi efek pengungkit, justru tumpang tindih, bertabrakan dan menegasikan. Kedua, kendala birokrasi karena memiliki kementerian yang menangani pendidikan tinggi justru menyulitkan komunikasi dan koordinasi. Muncul sikap ego sektoral yang saling mengunci satu sama lain. Kondisi ini yang tidak bisa melahirkan terobosan akademik kreatif, Ketiga kendala kelembagaan sebagai efek domino kendala birokrasi. Membuka prodi harus sesuai nomenklatur yang telah ditetapkan kementerian, jika tidak maka tidak sesuai maka tidak dapat izin operasional"(Kompas, 2/11/2018).