Setiap orang dikodratkan sebagai individu dengan kepribadian dan tingkah laku yang unik, spesifik, tidak ada yang persis, sekalipun dalam satu rahim yang sama sebagai anak kembar. Perbedaan inilah yang membuat suatu harmoni dalam kehidupan, jadi rambut boleh sama hitamnya, tetapi pikiran tetap berbeda.
Namun demikian, manusia sekaligus dikodratkan sebagai makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Aristoteles, menyebut sebagai Zoon Politicon, dan Adam Smith makhluk sosial sebagai Homo Homini Socius yang berarti manusia menjadi sahabat manusia lainnya.
Bahkan disebut sebagai Homo Economicus, cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya, yang selalu berusaha untuk terus memenuhinya. Sedangkah Thomas Hobbes, manusia sebagai Homini Lupus, berati manusia satu menjadi "serigala bagi manusia lainnya".
Sebagai makhluk sosial, sepantasnya hidup berdampingan, bersahabat, berinteraksi satu sama lain dalam perbedaan yang dapat menciptakan suasana hidup rukun, damai, sejahtera dan bahagia.
Hal ini sangat dianjurkan sepanjang dalam batas-batas kewajaran, koridor etika, dan sopan santun. Ramah, saling bertegur sapa, berkomunikasi dengan sesama orang itu baik, karena bila diam ditafsirkan sombong, cuek, angkuh, dan sederet sebutan negatif lainnya.
Bertanya tentang masalah pribadi dengan orang yang sudah kenal pun tetap harus hati-hati, membaca situasi dan kondisi, serta memilih kata-kata yang tidak menyakitkan.
Hal ini mengingat, kata, ucapan, yang sama pun dapat mempunyai makna berbeda, bila lawan bicaranya sedang dalam suasana batin yang tidak enak. Padahal sekali ucapan dan kata yang "terlanjur" keluar bisa jadi motivasi, penyemangat, atau justru "melukai" hatinya yang terdalam. Luka hati itu sulit diobati dibanding luka fisik yang kasat mata.
Bersikap hati-hati bukan berarti lebih baik diam seribu basa, tidak ada pembicaraan, sehingga suasana menjadi "garing", kering, tidak memberi makna dan warna dalam kehidupannya. Dalam berinteraksi, bergaul tidak lepas dari singgungan, friksi-friksi sosial akibat ada kepentingan pribadi yang selalu di "kepo"in, sehingga membuat ketidaknyamanan satu dengan yang lain.
Apalagi bagi orang Indonesia yang baru ketemu sekali saja sudah "menginterogasi", seperti hakim dalam persidangan dengan sederet pertanyaan yang sangat pribadi. Pertanyaan yang lazim nama, nama orang tua, jumlah saudara, alamat, sekolah, kuliah, status, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain. Pantaskah ini dilakukan untuk orang yang baru kenal di bandara, stasiun, halte ?.
Padahal bagi orang yang bertanya itu sebagai hal biasa, namun tidak demikian bagi yang ditanya. Pertanyaan sederhana:"anaknya sudah berapa?", ditujukan untuk teman kuliah yang sudah 40 tahun tidak bertemu. Bagaimana perasaannya ketika yang ditanya itu ternyata belum menikah, masih "single", atau rumah tangganya tidak harmonis dan berakhir dengan perceraian.
Walaupun si penanya benar-benar tidak tahu kalau temannya yang selama 40 tahun itu statusnya belum menikah. Bagaimana perasaan teman tersebut ?. Dengan lirih menjawab "saya belum menikah", dengan mimik muka yang tidak senang, marah, jengkel. Timbullah penyesalan, rasa bersalah, dan mengucapkan "maaf" (bagi yang empati).