Berita di media massa cetak dan elektronik perhatiannya tersedot ulah "public figure" yang melakukan kebohongan publik. Mengingat tahun politik, sehingga sangat menarik menjadi bahan diskusi (bukan perdebatan), ditengah duka mendalam akibat gempa, tsunami, likuifaksi di Palu, Sigi, dan Donggala Sulawesi Tengah.
Sebenarnya kebohongan itu pernah dilakukan oleh semua orang, sejujur apapun orangnya, cuma kebohongan di level yang paling ringan dengan membohongi dirinya sendiri, sehingga yang rugi hanya seorang diri.
Berbeda bila level kebohongan tingkat sedang, orang sekitarnya kena dampaknya, apalagi kebohongan tingkat tinggi, selain dampaknya meluas yang dirugikan juga banyak orang. "Nama baik" orang yang melakukan kebohongan pun tercemar oleh ulahnya sendiri, karena orang menjadi tidak percaya walaupun yang diomongkan benar.
Penulis bukan ahli soal kebohongan, tetapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman dalam pergaulan hidup, disekitar kita sebenarnya banyak pembohong. Cuma tidak terekspos media massa sehingga tidak menjadi viral.
Hasil pengamatan, pembohong itu hidupnya penuh kepalsuan, memakai topeng sesuai dengan karakter yang diperankan, mudah berganti wajah, mengikuti kondisi lingkungan, dan penuh trik-trik rekayasa.
Akibatnya banyak yang tertipu dengan cerita palsu menyedihkan yang membuat "baper", kasihan, timbul niat menolong, membela. Padahal sejatinya hanya akal-akalan untuk memperdaya agar mendapat simpati dan empati.
Untuk mengetahui cerita itu bohong/palsu, atau asli/beneran, jujur, tanpa rekayasa, tidak perlu memakai ilmu tingkat tinggi, apalagi ilmu kebatinan, cukup memperhatikan isi cerita, kronologis, olah cerita (bukan detektif) secara akal sehat, cek dan ricek, bukti tertulis, informasi yang ada kalau perlu dari banyak sumber referensi yang valid, dapat dipercaya dan up to date.
Apalagi kalau sudah berinteraksi setiap hari, dengan mudah dapat diketahui ceritanya bohong atau jujur. Perhatikan sikap duduk, saat berinteraksi, dan mimik/ekspresi wajah ketika bercerita.
Bahkan tidak berani bertatap muka, beradu mata, karena gerakan bola mata terlihat saat menjawab pertanyaan. Kalau sudah terkumpul semua, sinyal kebohongan itu dengan mudah terdeteksi, walaupun masih bisa mengelak, tetapi percayalah tindakan itu sudah terekam dengan valid yang nanti tinggal dibacakan di alam keabadian.
Kalau ada teman bercerita diringi tangisan dari seorang "single parent " yang menyentuh bahwa kebangkrutan hidupnya karena telah tertipu sekian milyar oleh mitra bisnisnya, apakah langsung percaya begitu saja?
Bagi yang tidak pernah melihat pola hidupnya, dan tidak pernah berinteraksi dalam keseharian, pasti langsung iba, simpati, kasihan, menanggung beban yang sangat berat.