Melihat reka ulang di stasiun televisi swasta, tentang tewasnya suporter Persija sepertinya tidak percaya kalau kejadain ini ada di Indonesia, yang mempunyai Pancasila sebagai pandangan hidup semua warga negara dan ideologi negara. Pancasila dengan 5 (lima) sila menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh warga negara tanpa kecuali.
Sila-sila yang terkandung bukan sekedar dibaca setiap upacara, tetapi diresapi, dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan mengkultuskan dan mendewakan, tetapi sebagai asas/prinsip hidup dalam bermasyarakat dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Andaikan sila-sila Pancasila dan butir-butirnya sudah dijiwai dalam setiap sanubari anak bangsa, kemungkinan melayangnya nyawa orang tidak berdosa dapat dicegah.
Nasi sudah menjadi bubur, dan nyawa yang sudah melayang tidak mungkin kembali, namun peristiwa ini dapat menjadi cermin kondisi riil di lapangan yang emosi orang-orang mudah tersulut oleh mania-mania di klub sepak bola. Padahal dalam pertandingan kalah menang adalah hal biasa, kenapa ada rasa dendam untuk saling menyerang diantara para suporter ?. Jujur dalam masalah persebak bolaan penulis sangat awam, namun melihat dari sisi lain dari kejadian yang merenggut jiwa karena pengeroyokan massa oleh suporter pendukung lawan.
Heran saja dan selalu bertanya apa yang terlintas di benaknya ketika menganiaya orang sampai meninggal ?. Kemana naluri kemanusiaan yang semestinya ada pada jiwa setiap orang ?. Kenapa hal ini terjadi dan terjadi lagi, solusi apa yang paling tepat untuk mencegah terjadinya gesekan antar suporter yang mendukung klubnya masing-masing ?. Dapatkah pertandingan sepak bola itu menjadi arena yang menyenangkan dan menghibur ?. "Menang tanpo ngasorake, kalah tanpo wirang", artinya menang tidak merendahkan, kalah tanpa menanggung malu. Disikapi biasa saja tidak harus dengan emosi, dan tidak mudah terpancing oleh suara yang mengejek.
Pada jiwa pemain sepak bola sudah tertanam menang kalah itu biasa, karena sering mendapat penjelasan pelatih. Fanatik untuk membela dan memperjuangkan klub idonya wajib, tetapi tidak harus merugikan pihak lain.
Masalahnya adalah, para suporter yang jumlahnya sangat banyak, tanpa koordinator lapangan, penanggung jawab, atau pengawal di lapangan untuk menyaksikan dan mendukung kesebelasannya. Mereka berkelompok, yang belum mengetahui medan pertandingan, berangkat mandiri/berkelompok.Tidak pernah ada pengawalan dari pihak berwajib ketika ada rombongan suporter dari kota lain atau ke luar kota. Kondisi ini memicu orang main hakim sendiri bila ada gesekan, keributan atau kesalahpahaman.
Miris rasanya melihat pengeroyokan massa oleh sesama suporter sepak bola, atau oleh suporten dan masyarakat sekitar yang menjadi jalur para suporter. Walau diakui sering "oknum" suporter itu memancing emosi warga dengan mengembor-gemborkan knalpot di jalan raya.
Bila dari luar kota dengan paksa naik di truk terbuka dengan atau tanpa bekal (uang, makanan, minuman). Bila perut lapar meminta paksa secara beramai-ramai kepada orang yang lewat atau warung makan. Kalau tidak diberi merusak apa saja fasilitas umum, kendaraan (mobil, motor, sepeda) yang berpapasan. Siapa yang bertanggung jawab atas ini semua, sungguh sangat menakutkan ?.
Aparat bukannya tidak mau bertindak, alasan yang menjadi pembenar karena massa lebih banyak daripada petugasnya. Fakta yang terjadi aparat selalu datang lebih lambat setelah ada kejadian yang mengerikan. Akibatnya hukum rimba berlaku, siapa yang kuat dialah yang menang. Orang dengan emosi memuncak melampiaskan "nafsunya" untuk membinasakan, menghancurkan orang lain, padahal tidak mengetahui "duduk persoalannya". Ironisnya main hakim sendiri, di negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Menghentikan/membekukan liga sepakbola adalah tindakan tepat, namun hanya sementara, karena pokok permasalahan tidak dicari solusinya dengan tepat. Jiwa-jiwa yang "gersang" karena hilangnya kasih sayang, siraman rohani sesuai dengan agama yang dianut mulai berkurang, pendidikan budi bekerti, toleransi, rasa persatuan dan kesatuan, kegotong royongan mulai terkoyak.