Ketika ada istilah baru, yang masih asing ditelinga, ramai-ramai mencermati, membahas, dalam suatu obrolan, diskusi, pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya tentang konsep, makna, persepsi, dampak, yang dikaitkan dengan kegiatan yang digeluti sehari-hari.
Topik "disrupsi 4.0" yang sedang "trend", "hit" pasti menarik untuk menjadi bahan diskusi berbayar apalagi gratis. Ditanggung peminat membludak memenuhi ruangan karena penasaran, ingin mengerti apa itu "disrupsi 4.0". Selain ini ada yang gembira, cemas, bingung apa yang dilakukan bila era disrupsi 4.0 benar-benar sudah ada disekeliling kehidupannya. Ada yang menolak mentah-mentah dengan berbagai argumen, menghindar, menjauh, cuek, dan menghadapi dengan tenang tanpa gejolak.
Salah satu yang menjadi "obyek" dari derupsi 4.0 adalah perpustakaan, yang sejak dulu mempunyai "image negatif', sebagai "gudang" dengan segala sebutan yang menempel dan tidak memberikan rasa senang orang yang berkunjung ke perpustakaan. "Brand image" perpustakaan adalah "gudang" berlangsng sampai tahun 1990, karena tahun itu menjadi tonggak masuknya teknologi di perpustakaan.
Para lulusan dari program ilmu perpustakaan yang tugas belajar di Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Indoenesia yang tersebar di seluruh Indonesia, berusaha keras untuk mengaplikasikan ilmunya. Walau tantangan dari dalam (teman-teman di perpustakaan) dan dari luar (bagian lain dan pimpinan) masih "mencibir" dan memandang sebelah mata. Namun komitmen dan kerja keras para pustakawan, dapat membuktikan perubahan di perpustakaan dengan terobosan dan inovasi.
Khususnya perpustakaan perguruan tinggi, diplomasi pustakawan dengan meloby para profesor yang mempunyai perhatian dan komitmen dengan perpustakaan, dapat menjadi mediator antara pustakawan dan pimpinan.
Waktu itu ada dewan perpustakaan yang diketuai seorang profesor yang disegani. Jamak para pimpinan perguruan tinggi tidak pernah mendenagrkan "apa" yang dikatakan walau konsepnya bagus, namun lebih pada "siapa" yang mengatakan.
Disinilah peran pustakawan menjadi "pembisik" bagi profesor sebagai mediator dan "penyambung lidah" pengembangan perpustakaan. Tidak banyak pustakawan yang dapat menjadi pembisik profesor karena perlu "soft skill" dan hard skill, serta wawasan untuk "membaca" lingkungan dengan "wait and see", dan agar cara menyampaikannya tepat dengan waktu dan suasana.
Perpustakaan dalam menghadapi era disrupsi 4.0 yang secara harfiah digambarkan sebagai suatu sistem yang sudah berjalan aman, nyaman, stabil, dan menyenangkan, semua itu menjadi "tercerabut dari akarnya". Digambarkan seperti tanaman hias yang sedang tumbuh subur, mekar bunganya, enak dipandang mata, tiba-tiba dicabut sampai akar-akarnya terlepas dari tanah.
Kemudian tanahnya diratakan dibersihkan, dirabuk dan diganti dengan tanaman bunga yang lebih indah, mempesona dan menarik kupu-kupu, lebah lebih banyak, sehingga semakin ramai dan menyenangkan.
Era disrupsi 4.0 ada yang mengatakan perpustakaan sudah tidak ada, dan tidak perlu karena diganti dengan perpustakaan tanpa dinding (library without walls), perpustakaan tanpa cetak (library without print collections), semuanya berbentuk digital. Perpustakaan menghadapi kompetitor yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan "paranoid".
Menurut Rhenald Kasali, era disrupsi 4,0 adalah:"era yang menakutkan dan penuh dengan persaingan ketat, bagi yang tidak siap pasti "tersinggir dan minggir" secara alamiah dari percaturan dan menjadi penonton".