Ketika niat sudah bulat untuk memenuhi panggilan haji, sejak saat itu perlu persiapan lahir, batin, jiwa raga, kesehatan jasmani dan rohani agar pada saatnya dapat menjalankan serangkaian ibadah haji dengan sehat, lancar, dan kembali menjadi haji mabrur. Itu menjadi impian semua orang yang sudah "dianggap" mampu pergi haji. Menurut UU No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, pasal 4 ayat 1 ditentukan:"WNI beragama Islam berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah, dan mampu membayar BPIH".
Artinya usia kurang 18 tahun diperbolehkan asal sudah menikah, padahal dalam UU NI.1 tahun 1974 tentang Perkawinan syarat sah menikah minimum untuk laki-laki 19 tahun, dan perempuan minimum 16 tahun (pasal 7), ada perbedaan batasan usia antara untuk haji dan menikah.
Khusus jemaah haji Indonesia, untuk bisa sampai ke tanah suci, harus bersabar karena masa tunggu yang panjang (15 -20) tahun. Bila usia 8 tahun sudah mendaftar maka baru bisa berangkat paling cepat ketika usianya sudah 33 tahun. Ibadah haji sebagai rukun Islam ke-5 merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi orang Islam yang mampu.
Jadi bagi yang belum mampu tidak mempunyai kewajiban, namun pergi haji selalu menjadi daya tarik bagi umat Islam, walaupun harus memanfaatkan dana talangan dari bank tanpa bunga. Akibatnya pendaftaran haji melonjak, melebihi kuota yang ditetapkan tiap daerah berbeda.
Pemerintah (baca Kementerian Agama, Kementerain Luar Negeri, Kementerian Kesehatan) mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan sejak pendaftaran, manasik, keberangkatan, transportasi dan akomodasi selama di asrama haji di Indonesia, Mekah dan Medinah. Suatu tugas mulai untuk melayani umat Islam menunaikan serangkaian ibadah haji, sesuai dengan syarat, rukun, dan sunahnya. Ritual wukuf di padang Arafah adalah salah satu rukun haji yang harus dipenuhi (selain Tawaf Ifadah, Sai, Tahallul), jika tidak dikerjakan hajinya tidak sah.
Dalam melaksanakan wukuf di padang Arafah, semua jamaah ada di tenda-tenda yang telah disediakan dengan alas karpet, dengan ritual berdiam diri, memperbanyak dzikir, dan berdoa, serta mendengarkan tausiah. Pada saat inilah titipan-titipan doa dari keluarga, kerabat, teman dibacakan oleh jamaah. Bahkan orang yang sedang sakit pun tetap harus mengikuti wukuf (tidak boleh diwakilkan) yang didampingi petugas medis, lengkap dengan mobil ambulan dan fasilitas medis yang diperlukan. Pelaksanaan wukuf di padang Arafah pada tanggal 9 Dhulhijah (tanggal 20 Agustus 2018).
Ketika berada di tenda-tenda besar (ukuran 30 x 20 meter) dapat menampung jamaah satu kloter ini, ada pesan moral yang sangat mendalam. Bahwa semua label yang dibawa dari tanah air berupa pangkat, kedudukan, gelar, status sosial, bahasa, asal-usul, daerah, warna kulit bahkan pandangan politik, harus dilepaskan. Semua sejajar, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam satu tenda Indonesia dengan bendera merah putih yang berkibar untuk menandai bahwa tenda tersebut dihuni oleh orang-orang Indonesia.
Walaupun diakui di Indonesia suhu politik mulai meningkat dalam tahun politik untuk menghadapi pileg dan pilpres 2019, dengan kubu-kubu dan pilihan masing-masing. Namun ketika wukuf di padang Arafah, sebanyak 203.351 jamaah semua melebur bersatu sebagai orang Indonesia. Semua setara, memakai baju ihram berwarna putih yang melambangkan kesucian jiwa yang bersih, tanpa ada permusuhan, dendam, dan syah wasangka. Bersama dengan dengan jamaah dari negara-negara lain yang berjumlah 3 juta orang, jamaah haji Indonesia menjadi "duta bangsa" di padan Arafah.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, selaku Amirul Haj Indonesia, mendampingi dan berbaur dengan jamaah Indonesia. Bahkan ketika terjadi hujan dan badai menenangkan para jamaah yang kalut dan takut. Sungguh Alloh SWT Maha Penguasa, dapat membolak-balikkan cuaca di padang Arafah, ketika siang hari suhu mencapai 43 derajad celcius, menjelang Magrib sampai Isya terjadi badai yang menegangkan dan menakutkan.
Para jamaah haji setelah memanjatkan doa kepada Alloh SWT, setelah Isya mulai bergerak ke Musdalifah, padang terbuka untuk mabit, dan setelah Subuh ke Mina untuk melempar jumrah Aqobah tanggal 10 Dzulhijah. Selama hari Tasyrik (11,12,13 Dzulhijah) mabit di Mina yang telah disediakan tenda dengan alas karpet. Selama di Mina melempar jumrah Ula, Wastha, dan Aqobah, yang harus berjalan kaki dari tenda menuju tempat jumrah berada.
Selama Wukuf di padang Arafah, mabit di Musdalifah (untuk mencari kerikil), mabit di Mina melempar jumrah, sangat memerlukan gerakan fisik, sehingga harus tetap menjaga stamina badan. Disinilah puncak ritual haji yang sangat menguras energi fisik dan perasaan (emosi harus ditahan ketika memanfaatkan toilet bersama). Sungguh kesabaran, rasa ikhlas, tawakal, menjadi landasan untuk pelaksanaan wukuf di padang Arafah. Kalaupun melihat hal-hal yang menjengkelkan, lebih baik diam, dan mohon pertolongan kepada Allah SWT agar mendapat kelancaran dan kekuatan dalam menjalani ritual haji.