Indonesia kembali berduka, gempa di Lombok menyisakan luka dan duka mendalam bagi para korban yang rumahnya rata dengan tanah. Posisi Indonesia yang secara ekonomi menguntungkan, namun secara geologis, geografis, hidrologis, dan demografis menjadi negara yang rawan bencana. Menurut para ahli geologi, ada tiga lempengan tektonik yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan berada di zona Indoaustralian, Eurosial dan Pasifik.
Bencana karena faktor alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor) dan non alam (epidemi, wabah penyakit), menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Selain itu bencana sosial akibat manusia karena adanya konflik sosial antar kelompok, antar komunitas masyarakat, teror dapat mengoyak rasa aman, nyaman, suasana damai, dan mencederai rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Tanggal 5 Agustus 2018 Lombok diguncang gempa bumi 7 Skala Richter (SR), dengan koban meninggal 98 orang, dan luka 238 orang, serta masih ada yang belum dievakuasi.
Setiap ada bencana termasuk gempa bumi selalu diikuti dengan informasi yang simpang siur, tidak bisa dipertanggungjawabkan sumber dan kebenarannya (hoaks). Kondisi ini diakui semakin menimbulkan kepanikan, kebingungan, dan kekacauan. Isu tsunami selalu mengiringi setelah terjadi gempa bumi, akibatnya orang-orang yang tinggal di daerah pesisir mengungsi ke daerah yang aman dan lebih tinggi.
Gempa bumi di Aceh berdampak tsunami pada tanggal 26 Desember tahun 2004, menjadi pengalaman berharga yang tidak mudah dilupakan dari ingatan. Sesaat terjadi gempa 9,1 -- 9,3 SR yang berpusat di dasar laut dekat Pulau Simeuleu air laut menyusut, sehingga ikan-ikan menggelepar yang disambut dengan girang oleh para pengunjung pantai.
Ternyata dalam waktu singkat datang gelombang raksasa besar (tinggi 30 meter) dengan kecepatan sangat tinggi menggulung tanpa ampun apa saja yang ada di tepi pantai. Bahkan masuk daratan sejauh puluhan kilometer, meluluh lantahkan bangunan, menghayutkan kendaraan, harta benda dan orang. Korban jiwa 230.000 orang meninggal, harta benda dan meninggalkan luka trauma psikis mendalam.
Berdasarkan bencana gempa bumi yang berpotensi tsunami yang mematikan itu ketika terjadi di Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006 terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR juga muncul informasi (hoaks) tentang tsunami. Walau tidak ada tsunami namun korban meninggal 6.234 orang, luka-luka 22.500 orang.
Akibat isu tsunami orang-orang berlarian tanpa membawa apapun dengan baju seadanya karena terjadi pagi hari jam 05.55 WIB, dimana orang-orang sedang persiapan ke tempat kerja, sekolah, pasar. Kejadian yang lucu dan tidak disengaja, karena sedang mandi, saat terjadi gempa, spontan lari keluar rumah tanpa selembar baju yang menempel di tubuhnya.
Penulis saat itu sedang membangunkan anak bungsu untuk siap-siap sekolah di SD kelas 3, dengan membawa segelas susu, karena guncangan, susu itu tumpah. Ketika akan lari keluar rumah, jalan sempoyongan mau jatuh, dan pintu sulit dibuka. Suasana sangat panik, takut, gemetaran, khawatir, dan spontan berucap Allohu Akbar berkali-kali.
Baru agak tenang, ada informasi yang sangat tidak jelas sumbernya katanya tsunami sudah sampai Gembiro Loka, kata tukang parkir sambil mengingatkan untuk hati-hati. Pagi itu posisi penulis di pasar Kotagede, secara logika kalau tsunami sudah sampai Gembiro Loka berarti pasar sudah tersapu air, tetapi masih kering, dalam hati tidak percaya. Jarak Parangtritis sampai rumah 24 km, rasa khawatir pasti ada, namun tetap tenang. Sampai di rumah menyaksikan orang berlari-lari, naik motor, mobil, sepeda untuk menuju ke utara menjauh dari pantai.
Intinya dalam suasana panik saat terjadi bencana orang mudah terpancing dan terkecoh informasi yang tidak benar (hoaks), tidak sempat mengecek, karena listrik, TV mati, tidak ada jaringan internet.