Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Kenapa Pedagang Kaki Lima (PKL) Mengganggu Lingkungan?

Diperbarui: 31 Juli 2018   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANTARA/Herka Yanis Pangaribowo

Ketika terdengar istilah Pedagang Kaki Lima (PKL), terlintas dalam pikiran kondisi yang  kumuh, kotor, tidak teratur, hitam, tidak sehat, bikin macet, tanpa tarif harga menu makanan/minuman. Keberadaannya menganggu pemandangan, menyita trotoar jalan, sehingga menjadi sasaran dan "obyek" petugas trantib karena berjualan di pinggir jalan yang bukan area untuk jualan. Diuber-uber untuk ditertibkan, hilang sebentar, muncul lagi, kucing-kucingan dengan petugas. 

Apalagi di kota-kota besar, jalan protokol dan jalan negara, yang sering untuk lewat tamu-tamu negara.

PKL disatu sisi menganggu pandangan mata, dengan gerobak yang sudah lusuh, dekil, namun dibutuhkankan masyarakat. Mereka sering disebut sebagai pelaku sektor informal yang tetap bertahan/tidak rentan dengan gejolak nilai "dolar". 

Buktinya tahun 1998 saat krisis moneter perusahaan pada gulung tikar, para PKL tetap berjualan. Bahkan pegawai perusahaan yang di "rumahkan", berpindah haluan menjadi pedagang PKL lengkap dengan tulisan "korban krismon". Sungguh roda itu selalu berputar, kadang diatas suatu saat ada di posisi bawah di tanah yang becek.

Istilah PKL sudah dikenal sejak penjajahan Belanda, yang membuat Peraturan Pemerintah bahwa setiap jalan raya yang dibangun harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter (https://id.wikipedia.org). 

Namun ada yang iseng membuat penjelasan, PKL itu membawa barang dagangan dengan gerobak yang mempunyai tiga (3) kaki, di depan atau dibelakang satu (1), kanan dan kiri masing-masing satu. 

Kemudian menjadi lima kaki (5), karena ditambah dua kaki dari orang yang mendorong gerobaknya. Jadilah namanya menjadi pedagang yang mempunyai kaki lima, tiga kaki untuk gerobak, dan dua kaki milik yang mendorong gerobak, yang sewaktu-waktu dapat berjalan untuk berpindah tempat.

Namun seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, meningkatnya perekonomian, dengan luas jalan sama, maka area untuk berjalan kaki (pendestrian) menjadi tidak ideal lagi. Bahkan hilang sama sekali karena dihabiskan untuk mangkal PKL lengkap dengan tenda, meja, kursi, tempat cuci, kompor gas. Akibatnya para pejalan kaki haknya tanpa disadari sudah "dirampas" oleh para PKL. 

Mirisnya lagi bila ada penertiban PKL berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Alasannya sepetak trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki dan untuk umum itu mempunyai "nilai ekonomis" yang disewakan oleh "oknum" yang mengatasnamakan "penguasa" di daerah tersebut. Semakin ramai dan laris barang dagangannya harga sewa per tahun juga naik.

Keberadaan PKL yang berjualan di trotoar walau dibutuhkan, diakui menganggu lingkungan, sehingga wajar kalau rutin selalu dilakukan penertiban, apalagi ada event internasional seperti Asian Games. 

Lingkungan dibuat bersih, indah, tertata, menarik, supaya para atlet dan official berkesan dengan Indonesia. Bahkan sungai Sentiong yang biasanya berwarna hitam, berbau, disulap menjadi rapi, besih dan tidak berbau. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline