Ketika memasukkan anak yang nomor 2 (dua) di SD Negeri yang terkenal di kota Yogyakarta, tahun 1991 awalnya hanya "mencoba" dan tidak pernah berharap diterima, mengingat usianya belum genap 7 tahun. Tidak pernah merekayasa akta kelahiran, apalagi melakukan "negosiasi" dengan panitia untuk dapat diterima, tidak pernah terpikirkan sama sekali. Biar saja semuanya secara alamiah, sesuai prosedur, dan aturan yang telah ditentukan.
Berharap pun tidak pernah berani, karena di SDN itu sangat ketat hanya menerima 30 murid untuk kelas 1. Pikiran orang tua, kalaupun tidak diterima di SD Negeri yang diidamkan akan kembali ke TK Besar, karena di SD Swasta yang ternama pun pasti juga tidak diterima karena usia masih kurang.
Namun diluar dugaan dalam pengumuman ternyata ada namanya di urutan nomor 30, awalnya tidak percaya karena baru pemberitahuan secara lisan oleh suami, namun setelah melihat sendiri pengumuman akhirnya percaya. Heran saja ketika diterima di SD Negeri. Kelas 1 dan 2 tidak ada hambatan yang berarti, namun di kelas 3 mulai ada hambatan yang sangat mengganggu, karena anak sering mogok sekolah tanpa alasan yang jelas.
Usut punya usut karena di kelas 3 ini gurunya galak, disiplin, dan sering memberi PR terlalu banyak. Anak kelas 3 SD setiap hari harus mengerjakan PR sampai 50 soal matematika, dan itu diberikan setiap hari. Puncaknya anak itu benar-benar mogok sekolah sampai berhari-hari tidak masuk sekolah.
Setelah dibujuk agar masuk sekolah, dan ditawarkan pindah di SD Swasta, seperti dan adiknyyang sudah sekolah disitu, agar untuk antar jemput lebih efisien. Namun menurut bapak Kepala Sekolah, karena di SD Swasta tersebut daya tampung untuk kelas 3 sudah terpenuhi maka bisa di terima di kelas 2. Akhirnya terjadi kesepakatan, setelah minta surat pindah dari SD Negeri (yang ternyata sangat disayangkan oleh Kepala Sekolahnya, dan akan menindak guru kelas), namun karena sudah "trauma" di kelas tersebut, akhirnya tetap pindah di SD Swasta.
Memilih di SD Swasta dengan pertimbangan ada pendidikan agama, PR tetap diberikan tetapi jauh lebih sedikit, dan yang penting anak tidak hanya dididik secara intelektual (kognitif), tetapi afektif (sikap, nilai, perasaan, emosi, karakter), dan psikomotorik (kesiapan, respon, adaptasi).
Selain itu ada komunikasi secara intensif antara orang tua dengan guru, ada forum pertemuan pengajian dilanjut dengan konsultasi dan perkembangan belajar peserta didik setiap hari Minggu pagi jam 06.00 -- 08.00, sehingga bila ada masalah cepat diketahui dan diselesaikan. Sementara di SD Negeri tidak pernah ada forum pertemuan orang tua dan guru untuk konsultasi dan komunikasi, kalaupun ada ketika penerimaan raport dengan waktu yang sangat terbatas.
PR bagi anak sekolah adalah yang biasa diberikan oleh guru kelas, agar peserta didik dapat mempelajari, memahami, dan melatih mata pelajaran yang diberikan disekolah. Namun menjadi tidak wajar karena PR yang diberikan itu terlalu banyak, sehingga peserta didik merasa terbebani yang di luar kemampuan fisik dan psikis. Apalagi PR diberikan setiap hari, gurunya galak, tidak menyenangkan, dan pilih kasih dengan peserta didik. Kondisi ini menjadikan peserta didik kehilangan semangat untuk belajar, salah satu protesnya dengan mogok sekolah.
Guru kelas yang mempunyai hak prerogatif untuk menentukan perlu tidaknya peserta didik mendapat PR. Artinya guru kelas yang lebih mengetahui kondisi peserta didik, asal PR disesuaikan dengan usia dan untuk memberi motivasi belajar, mengingat usia anak-anak, kebiasaan dan tingkat kesadaran untuk belajar masih kurang/belum tumbuh. Akibatnya sering terjadi kalau tidak ada PR tidak perlu belajar, padahal kurikulum berbasis kompetensi ada tuntutan dan target yang sudah ditentukan. Kalau anak tidak ada PR, tidak belajar sehingga dapat ketinggalan mata pelajarannya.
Kalau di Kota Blitar akan dikeluarkan Surat Edaran (SE) tentang pelarangan guru-guru di sekolah untuk tidak memberikan PR kepada peserta didik, dengan pertimbangan agar para murid mempunyai waktu banyak untuk belajar karakter melalui lingkungan keluarga dan masyarakat, menurut penulis kurang tepat dan kurang bijaksana.
Hal ini berarti ada campur tangan dari pihak Dinas Pendidikan terlalu jauh, yang bukan ranahnya, dan kebebasan guru kelas dibelenggu oleh SE tersebut. Bukan berarti pelajaran sekolah hanya diselesaikan di sekolah, apalagi alasan yang disampaikan banyak siswa tidak bisa membedakan mana "daun salam" dan "daun kunyit". Tidak ada kolerasi antara PR dan nama dedauan yang tidak diketahui anak-anak. Hal ini semestinya orang tua yang memberikan pengenalan naman dedauan, mengingat keluarga itu sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anak.