Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Modal Pernikahan, Cinta Saja Tidak Cukup?

Diperbarui: 19 Mei 2018   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: lampung.tribunnews.com

Memutuskan untuk menikah itu perlu persiapan, bukan secara lahiriah namun juga batiniah, agar dapat mengarungi bahtera rumah tangga, yang penuh dengan pernak pernik kehidupan. Modal cinta memang perlu dan menjadi titik awal untuk menuju ke pelaminan, namun bukan satu-satunya agar pernikahan dapat langgeng. Masih ada modal-modal lain yang mejadi landasan agar pernikahan menuju keluarga yang bahagia sejahtera lahir batin.

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya pernikahan itu bukan sekedar mendapatkan status kawin untuk pengisian setiap formulir, namun mempunyai tujuan mulia membentuk keluarga yang bahagia kekal berdasarkan nilai-nilai agama yang dianutnya.

Saat sebelum pernikahan semua terasa indah, baik, ideal, dan menyenangkan, karena “tabir” itu masih tertutup. Namun setelah menjalani pernikahan tabir itu perlahan-lahan terbuka, sehingga kondisi “aslinya” dapat dilihat. Disinilah sebenarnya “kehidupan baru” itu dimulai, sehingga orang selalu memberi ucapan pernikahan:”Selamat Menempuh Hidup Baru”. Maknanya pernikahan itu adalah menjalani kehidupan baru yang sangat berbeda dengan kehidupan ketika masih sendirian.

Menjalani kehidupan bersama dalam ikatan pernikahan berarti harus siap menerima perbedaan dalam segala hal, baik interen maupun eksteren (lingkungan sosialnya). Secara interen berkaitan dengan pribadi dua insan yang mempunyai watak, sikap, kebiasaan, perilaku, etika, karakter yang sangat berbeda. Sedang eksteren dengan lingkungan sosial masing-masing mulai kebiasaan, bahasa, budaya, adat istiadat, latar belakang, persepsi. Intinya penikahan bukan sekedar bertemunya dua orang antara laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga, tetapi bertemunya dua keluarga besar masing-masing dengan segala plus minusnya.

Pernikahan itu membutuhkan modal kejujuran, tampil ada adanya siapa saya (who am I), tidak ada yang dirahasiakan dan ditutupi. Pernikahan bukan untuk “seumur jagung”, tetapi untuk memperpanjang keturunan dan selamanya sampai maut memisahkan. Pernikahan juga bukan “restorasi” yang dengan mudah di bongkar pasang, mudah digonta ganti dengan alasan “ketidakcocokkan” yang sering diucapkan oleh masing-masing pihak ketika tidak bisa mempertahankan biduk rumah tangga yang hancur diterpa gelombang pasang samudera kehidupan.

Saling memahami kepribadian satu dengan lainnya memerlukan kesabaran, rasa kecewa, sedih dan air mata. Banyak memaklumi, toleransi, saling mengerti, percaya, dan komunikasi yang efektif adalah kunci menghadapi kesalahpahaman yang tidak hanya dialami oleh keluarga baru dan muda. Oleh karena itu dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 dikatakan:”perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

BKKN menyaratkan untuk pria 25 tahun, dan wanita 20 tahun, ini dimaksudkan agar para pihak sudah “dewasa” secara fisik, psikis, biologis, dan reproduksi. Maksudnya bila ada masalah dalam rumah tangga dapat diselesaikan dengan pemikiran dewasa yang selalu mengingat tujuan awal pernikahan, bukan justru untuk mengakhirinya.

Dalam membina pernikahan, ibaratnya orang berjalan ada kerikil kecil dan duri mestinya disingkirkan, bukan dijauhi apalagi pindah jalan. Kerja sama (saling mencukupkan bukan berja bersama) dalam menyelesaikan urusan rumah tangga. Artinya bila dalam keluarga itu tidak mempunyai asisten rumah tangga (ART), pekerjaan menjadi tanggung jawab bersama, bukan monopoli istri yang sudah kerja 24 jam. Suami bisa melakukan menyelesaikan pekerjaan kerumah tanggaan dalam batas kewajaran, karena bagaimanapun suami juga harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.

Suami istri dalam pernikahan itu saling memiliki, bukan saling melukai. Jangan pingin bahagia, tetapi ingin membahagiakan. Rasa ego perlu dinaikkan dan diturunkan, asal di waktu yang tepat. Biasanya suami paling tidak suka kalau istrinya tidak menghargai dan menghormati suami di depan orang banyak. Omelan, kebawelan, ketidaksabaran, kecemburuan istri yang berlebihan, justru menambah suasana menjadi tidak aman dan nyaman. Disinilah awal mula ada “bisikan syetan”, untuk memberi kesempatan “pelakor” masuk di hati suami.  

Bila ada masalah dalam rumah tangga lebih bijaksana diselesaikan tanpa melibatkan orang tua masing-masing. Lebih bijaksana melibatkan pihak ketiga yang netral, tidak memihak dan memberi solusi yang saling menguntungkan tanpa ada yang merasa dirugikan (win-win solution). Keluarga yang bahagia, harmonis, sejahtera bukan dirajut dari berlimpah ruahnya materi (mobil mewah, rumah megah, uang banyak), namun akumulasi rajutan sejuta rasa sedih, kecewa, ketawa, bahagia, dan air mata.

Bahagia itu sederhana bisa merasakan makan nasi sepiring berdua dengan lauk tempe garit dan sambal, itu lebih indah daripada makan di restoran mahal namun semua terasa hambar. Jadi menunggu apalagi bagi yang sudah siap secara lahir dan batin, walaupun pernikahan itu adalah pilihan.

Yogyakarta, 5 Mei 2018 pukul 13.01




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline