Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Kapan Perpustakaan "Dianggap" Penting?

Diperbarui: 24 Maret 2018   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perpustakaan yang sering disebut sebagai "jantung", artinya mempunyai peran sangat penting, karena ketika ketika fungsi jantung berhenti setaknya berarti "mati". Ketika ada orang yang "menganggap" perpustakaan tidak perlu karena sudah ada internet, yang bisa diakses kapan, dimana, dengan cepat, murah, tanpa birokrasi. Anggapan demikian tersebut sah-sah saja, di negara yang demokrasi ini tidak ada larangan untuk berpendapat dan menyampaikan aspirasi. Ketika semua orang sudah memiliki "gadget", semua informasi sudah ada dalam genggam tangannya, yang dapat diakses saat dibutuhkan. Tinggal klik "mesin pencari/search engine", mbah "google" menjadi andalan utama penyedia semua informasi yang dibutuhkan. Mereka "beranggapan" bahwa apa pun informasi yang ada di situs itu sudah sangat benar, tanpa perlu melihat kapasitas dan kapabilitas penulisnya. Padahal informasi yang didapat ternyata tidak sehat, membingungkan, tidak lengkap, hasil "plagiat"(copy paste pendapat orang lain yang diakui milik sendiri, atau tidak menyebutkan sumber aslinya).

Tidak pernah dipahami bahwa informasi yang ada dalam "gagdget" bisa digenggam tangan, diakui mempunyai kemampuan menyediakan data sangat besar (big data), tidak terbatas. Namun mempunyai mempunyai kekurangan/keterbatasan, layar yang berukuran 8 inchi, akibatnya tidak smua data dan informasi disajikan perlu diringkas, sehingga pengguna "gadget" terbiasa dengan data dan informasi serba ringkas, pendek, kurang mendalam dan kurang lengkap. Dan tidak ada waktu lagi untuk membaca dan mencari informasi yang mendalam, lengkap dan jelas. Akibatnya ada pemikiran dan tragisnya dari orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang menyatakan bahwa:"setelah ada website, untuk apa ada perpustakaan ? (Agus Rusmana, 2015:17, dalam makalahnya berjudul:"Tantangan Perpustakaan dalam Membangun Kemampuan Baca Bagi Generasi Gadget di Era Digital").

Baca Juga: Perpustakaan Versus Internet

Pemikiran yang sudah "menafikan" perpustakaan dianggap tidak penting, karena semua bisa diakses melalui website, termasuk tidak perlu ada pustakawan utama di suatu perpustakaan perguruan tinggi karena sudah tidak diperlukan, membuktikan pola pikir kebanyakan orang dinegara berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyo Basuki, 1999:25-26 dalam bukunya Pengantar Ilmu Perpustakaan, mengatakan bahwa:"perpustakaan mencerminkan kebutuhan sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan suatu masyarakat".Bila kebutuhan dipenuhi maka masyarakat akan menuntut pembangunan perpustakaan. Kondisi ini dapat terlihat pada negara maju, karena kebutuhan sosial, ekonomi sudah dapat tercapai, maka membangun perpustakaan dapat memberikan pemenuhan kebutuhan kultural dan pendidikan. Oleh karena para mantan presiden di AS selalu membangun perpustakaan, sebagai upaya memenuhi kebutuhan kultural dan pendidikan bagi warganya.

Kondisi ini tentu berbeda dengan negara yang berkembang seperti Indonesia, masih dalam taraf memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi (pangan, sandang, papan). Akibatnya perpustakaan belum “dianggap” penting, karena kebutuhan sosial dan ekonomi lebih mendesak dari pada kebutuhan kultural dan pendidikan. Keadaan ini ada hubungannya dengan budaya membaca dalam masyarakat yang masih rendah. Membaca, dianggap kegiatan membuang waktu dan energi, sedangkan memenuhi kebutuhan ekonomi dirasa lebih penting dan mendesak. Artinya kebutuhan “perut” lebih penting daripada kebutuhan “informasi”, walau kenyataannya informasi menjadi kekuatan, kebutuhan, dan komoditas yang dapat dinilai dengan uang, di era informasi ini.

Padahal UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan telah diberlakukan yang secara legal formal mengukuhkan perpustakaan sebagai wahana yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan sebagai tempat belajar seumur hidup untuk mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang seutuhnya (cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual).

Dalam penjelasan UU No.43 Thaun 2007 tentang perpustakaan dikatakan bahwa:"Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya manusia. tinggi rendahnya peradaban dan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki. Perpustakaan sebagai suatu sistem pengelolaan rekaman, pengalaman, dan pengetahuan manusia, mempunyai fungsi melestarikan hasil budaya manusia, dengan sasaran terbentuknya masyarakat yang mempunyai budaya baca dan belajar sepanjang hayat.

Pemahaman makna perpustakaan di Indonesia masih sebatas kulit luarnya, belum masuk ranah subtansi. Artinya membangun perpustakaan masih sebatas mendirikan fisik gedung megah menjulang ke angkasa, bukan membangun peradaban dan intelektualitas bangsa. Akibatnya perpustakaan dimaknai secara harfiah gedung, koleksi, ruangan, yang didalamnya menyimpan sumber pengetahuan, tetapi belum memberi manfaat secara signifikan kearah peradaban dan intelektualitas. Mengapa ?. Kalau disimak, sejak membangun gedung sudah banyak kepentingan (sosial, ekonomi, politik, hukum), mulai penentuan lokasi, pembebasan lahan, gambar desain gedung, pelelangan, mengisi perabot, koleksi, sampai menentukan orang-orang yang menjadi pustakawannya. Tragisnya pustakawan sekedar “obyek”, bukan “subyek”, dalam menyiapkan pembangunan perpustakaan, dengan alasan bukan ranahnya, padahal yang akan menempati. Ibaratnya pustakawan tinggal “terima beres”, apa adanya, tanpa perlu “dilibatkan” dalam “proyek pembangunan perpustakaan”.

Posisi tawar pustakawan yang rendah di lingkungan kerjanya ini mempunyai dampak perpustakaan masih dipandang “sebelah mata”, oleh sebagian besar orang Indonesia, walau di lingkungan para intelektual sekalipun. Membangun perpustakaan ideal semestinya “netral” dari berbagai kepentingan, sehingga perpustakaan menjadi sumber pengetahuan. Menurut Roger Bacon dalam Sulistyo Basuki (1991:33) mengatakan:”Nam et ipsa scientia potestas est” artinya ilmu pengetahuan adalah kekuatan, karena perpustakaan merupakan gudang ilmu pengetahuan maka perpustakaan adalah kekuatan.

Berbicara perpustakaan tidak dapat dilepaskan dari pustakawan. Menurut Blasius Sudarsono (2011:5), mengatakan bahwa:”sebuah perpustakaan adalah pustakawannya”. Mengapa ?. Karena pustakawan sebagai motor penggerak perpustakaan, secanggih apapun teknologi kalau tidak ada pustakawan, maka perpustakaan tersebut tidak memberi pengaruh pada peradaban dan inteletual pemustaka. Jadi semua yang menyangkut kegiatan sebuah perpustakaan sangat tergantung pada pustakawannya. Bila pustakawan kompeten (profesional dan personal), maka perpustakaan dapat memberi nilai tambah khususnya dalam peradaban dan intelektual pemustaka.

Pustakawan dalam masyarakat informasi ini bukan sekedar “penjaga buku” yang pasif menunggu pemustaka. Namun pustakawan yang mempunyai kompetensi dari pendidikan dan atau latihan kepustakawanan, tugasnya melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Pustakawan menurut Peggie Partelo (2005) dalam Blasius Sudarsono (2005:8) harus mempunyai “core competencies” yang meliputi 7 kelompok kompetensi yaitu filosofi dan etika, kelengkapan kepribadian, administrasi, manajemen koleksi, layanan publik, layanan teknis, dan teknologi. Inti kompetensi itu menjadi modal intelektual bagi pustakawan di perpustakaan mengingat fungsi perpustakaan sebagai pengelola pengetahuan (knowledge management). Oleh karena itu konsep modal intelektual perlu dikembangkan di lingkungan perpustakaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline