Tidak ada yang memungkiri bahwa air mepunyai manfaat bagi kehidupan manusia, flora (tumbuhan) dan fauna (hewan). Ketika lahan pertanian masih luas, para petani rela untuk "ronda" di malam hari agar jatah air yang masuk ke sawahnya tidak direbut orang lain. Di Bali dikenal istilah Subak yaitu organisasi kemasyarakatan yang mengatur sistem pengelolaan pengairan sawah dalam bercocok tanam.
Dalam sistem Subak ini para petani yang menjadi anggota menerapkan konsep Tri Hita Karana (hubungan antara manusia, alam lingkungan, dan Tuhan). Subak sebagai kearifan lokal patut menjadi rujukan bagi para pejabat, pemangku kepentingan, dan semua orang agar dalam memberdayakan sumber daya air tetap menjaga keseimbangan lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung. Dalam sistem Subak ada prinsip yang diterapkan yaitu musyawarah, gotong royong, kekeluargaan, dan rasa adil untuk memanfaatkan sumber daya air (SDA).
Penjelasan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), mengatakan bahwa:"SDA sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memberi manfaat untuk mewujudkan kesejahteran bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, SDA dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan mengatur hak atas air. Penguasaan negara atas SDA yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan Negara Kesatuan RI."
Kalau disimak makna penjelasan UU No.7 Tahun 2004 tentang SDA ini, pemerintah (pusat dan daerah) berhak menguasai SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatur hak atas air. Namun sering terjadi "atas nama pembangunan" sarana dan prasarana pemerintah yang diwakili "pejabat publik", secara sengaja atau tidak "merusak dan atau menghilangkan" sumber air tanah.
Pembangunan gedung pencakar langit, hotel-motel, bungalow, berubahnya "jalur hijau" menjadi jalur ular besi, padatnya pemukiman di dekat "situ", danau, sungai, dapat mempengaruhi kondisi air tanah. Lingkungan hijau berubah menjadi hutan beton, air hujan tidak bisa disimpan ditanah karena ditutup oleh conblock/paving block,akibatnya air langsung mengalir ke dataran yang lebih rendah, yang menimbulkan petaka banjir dan tanah longsor.
Air menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup, ketika kekurangan air dapat menjadi masalah kekeringan, namun ketika berlebih pun dapat menimbulkan bencana, yang merugikan. Kondisi air dalam volume besar yang merendam wilayah, aliran air yang tidak tertampung di sungai, danau, dam, dapat menimbulkan banjir yang dampaknya sangat merugikan bagi kehidupan. Oleh karena itu SDA perlu dikelola dengan arif dan bijaksana, tidak "serakah" agar tetap menjadi sumber kehidupan bagi semua ciptaanNya.
Perilaku manusia dapat merusak lingkungan yang hijau, asri, menjadi gersang, tandus. Pencemaran air akibat limbah industri, rumah tangga, rumah sakit yang dibuang langsung ke sungai telah merusak kualitas air untuk sumber kehidupan. Pemberian ijin mendirikan bangunan (IMB) rumah, hotel, rumah sakit, pabrik, yang harus menyertakan gambar pembuangan limbah selayaknya mendapat perhatian semua pihak, agar air tanah tidak terkontaminasi dengan limbah-limbah yang berbahaya bagi kesehatan dan kehidupan.
Tanggal 22 Maret yang diperingati sebagai Hari Air Sedunia (Water's Day), melalui Resolusi PBB Nomor 147/1993, semestinya menjadi momen pengingat bahwa air memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan. Ranah politik yang masuk dalam pengelolaan SDA, dapat mengganggu kedaulatan pemanfaatan air untuk kesejahteraan rakyat. Eksploitasi air pengunungan secara besar-besaran oleh berbagai pihak seharusnya dapat memberi manfaat besar secara berkeadilan bagi rakyat Indonesia. Mengingat posisi Indonesia memiliki dua pertiga berupa air, dan sepertiga daratan, maka potensi ini bila tidak dikelola kepemilikan, pemanfaatan, dan kedaulatannya dapat menimbulkan bencana.
Sesuai pasal 33 ayat 3 UUD 1945, semestinya negara harus hadir dalam pengelolaan air, sehingga liberalisasi dapat segera diakhiri. Ada peran strategis bagi para pejabat dan BUMN, BUMD, dan BUMDes dalam pengelolaan, pemanfaatan air dan kedaulatan air dapat ditegakkan. Penegakan kedaulatan air agar tidak perlu menggantungkan pada kaum kapitalis dalam memenuhi kebutuhan air yang paling mendasar bagi rakyatnya. Bila kedaulatan air sudah bisa ditegakkan rakyat dapat mencukupi kebutuhan air bersih, sehat, yang memberi manfaat pada kehidupannya. Sangat ironis, di negeri yang airnya melimpah rakyat harus membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan mineralnya. Kekurangan air dapat membawa bencana, sebaliknya kelebihan air pun juga menimbulkan petaka.
Yogyakarta, 23 Maret 2018 pukul 13.44
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H