Sebuah benda kering menghantam kaca helm, entah apa, cukup mengagetkan. Peringatan langit, agar saya konsentrasi pada jalanan yang dilewati. Walaupun aspal mulus mendominasi, sesekali di beberapa titik kelupasnya tak bisa ditampik. Berliku-liku, naik turun bergelombang dengan suguhan ragam pemandangan. Sebersit keinginan untuk mencari tahu keberadaan reservoir waduk Beton Ponjong mengalahkan rasa enggan dihati. Siang yang panas di pengujung bulan Agustus 2021 bukan halangan yang berarti. Walau sengatannya membuat kulit berdenyut, tidak jadi soal. Mengandalkan Google maps malah menuntunku memperoleh jalur baru. Tidak semuanya, karena beberapa batang jalan pernah saya arungi. Sebuah nostalgia penjelajahan.
Berkendara motor roda dua merupakan cara paling gampang. Dari rumah(Solo) Hanya butuh waktu tempuh satu jam tigapuluh menit sebelum kaki menjejak tanah padukuhan. Bentang air terhampar dipelupuk mata. Beberapa warga dukuh sedang sibuk dengan karambanya. Celoteh bocil(bocah cilik) menyala, ada keriangan didalamnya. Berhenti sejenak adalah jalan Beatku. Pandangan mata disuguhi air yang dihela angin menciptakan gelombang kecil, merunduk-runduk tak berkesudahan.
Vegetasi merajai wilayah ini. Bunyi gerojok memprovokasi agar saya mendatangi. Saluran air terlihat deras menggoyang. Melimpah, hingga meluber dijalanan. Kondisi ini bisa jadi telah bertahun-tahun, mengubah tanah jadi becek serta aspal mengelupas sehingga kerikil berserakan. Ban kendaraan bisa selip. Tidak sanggup menggigit. Sebuah Toyota Alphard dipaksa kepayahan, gagal naik ditanjakan mini. Mencoba naik, mundur lagi. Dicoba, gagal lagi.
Akhirnya putar balik lewat akses lain. Apakah sopirnya kurang tastes(cekatan)? Kejernihan air menuntun mataku bergerak seraya batin mendesir, "Darimana sumbernya?". Apakah jejeran bukit diatas sana? Inikah yang menjadikan desa ini diberi nama Umbulrejo? Sepertinya iya. Umbul dalam bahasa Jawa artinya sumber mata air, sedang Rejo adalah makmur. Berkah luar biasa bagi wilayah ini dari Tuhan semesta alam. Wajib disyukuri.
Penamaan waduk Beton bagi saya pribadi kurang kena. Cakupannya tidak begitu luas, hanya beberapa hektar. Melihat bentangnya, lebih pas di sebut telaga. Kalau boleh diubah, nama telaga Umbulrejo sepertinya layak disematkan.
Sejauh mata memandang, dominasi warna hijau menempati porsi besar. Beberapa bangunan terlihat tegak berdiri. Sayang, diantaranya telah melapuk. Sebuah gubuk bambu(gazebo) dirundung nestapa. Kondisinya compang-camping mirip kaum Kay Pang dari dunia persilatan. Atapnya hilang terpelanting, persis dibawah bukit. Dulunya mungkin eksotik. Berjalannya waktu-entah kenapa-dibiarkan dicabik dua musim. Hingga menyisakan kerangka keterpurukan. Dua perahu naga terpaksa diangkat kedaratan. Sekoci angsa ditumpuk pada sudut bangunan. Posisinya miring diselimuti debu. Sebuah warung makan tutup. Ujung spanduk yang dipasang didepan lepas menjuntai, berkelepak, ujud ekspresi kepasrahan. Plang jati diri hanya menyisakan deretan menu hidangan. Apakah akibat wabah covid atau memang sudah usai gebyar pancaran destinasi ini? Sehingga orang enggan datang lagi? Saya hanya melihat beberapa remaja memanfaatkan titik tertentu untuk kumpul-kumpul, bersendau gurau.
Bila benar wabah, saya maklum. Karena destinasi kelas dunia saja dipukul mundur, dipaksa bertekuk lutut. Apalagi destinasi lokal. Kita semua berharap, semoga wabah ini segera hilang dari bumi agar semua sektor kehidupan bergerak normal kembali.
Menurut saya, destinasi ini masih bisa terangkat lagi jika pembenahan dilakukan. Misal, penataan di sekitaran waduk dengan penambahan bangku taman hingga bebungaan. Tanami saja dengan kumpulan bunga warna warni berpadu tanaman hias. Desain sedemikian rupa dengan menyesuaikan keadaan. Jalan dibuat mulus lagi, baik yang ada dilokasi ataupun yang masuk padukuhan. Kasih petunjuk arah yang jelas. Jangan sepotong papan kecil. Bikin yang besar biar para pelintas tertarik. Dimulai dari pertigaan dekat terminal Semin Baru. Itu saja cukup. Jangan dikasih artifisial lain yang hanya akan memperburuk pemandangan seperti kerangka hati, sarang burung, dan sejenisnya. Jangan!Mengenai dana, mungkin bisa minta bantuan pemkab Gunungkidul atau kaum boro yang ada diperantauan. Sengkuyung (dukung) bareng demi tanah kelahiran.
Adanya Balai Benih Ikan(BBI) juga satu determinant. Apalagi jika warung-warung disitu menambahkan menu ikan sebagai andalan, selain masakan lokal seperti pecel tiwul, pecel ndeso, oleh-oleh khas Gunungkidul dan lain sebagainya.
Bagaimana geliat Kelompok Sadar Wisata(pokdarwis) Umbulrejo? Masihkah eksis? Atau baru mengalami tidur panjang?. Tetap semangat brader![*]
Catatan kaki:
destinasi wisata ini masuk dukuh Sanggrahan dan Sladi, desa Umbulrejo, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.