Kirab gunungan bagi masyarakat Jawa tidak asing lagi. Tradisi ini masih dilestarikan banyak wilayah, ada pula desa yang baru memulai, seperti desa di mana saya bermukim, Desa Sidomulyo, Kecamatan Sawahan, Madiun.
Kirab gunungan 2024 dilaksanakan pada acara bersih desa bulan Suro atau Muharam. Sebelumnya warga melaksanakan upacara bersih desa di makam Reksogati dengan membawa sesajen di atas tampah. Tradisi ini berubah dengan kirab gunungan.
Oleh karena baru pertama, kirab gunungan diikuti setiap rukun warga (RW), lembaga kemasyarakatan. Jadi total gunungan tidak banyak, ada sembilan gunungan yang dibuat dari hasil bumi dan produk UMKM warga setempat. Gunungan diarak dari Lapangan Reksogati sampai makam Reksogati yang berjarak sekitar satu kilometer.
Ada dua gunungan yang dipikul dan jalan kaki, lainnya menggunakan kendaraan. Bagian belakang ibu RT, warga terpilih dan bersedia ikut mengarak dengan pakaian adat dan tarian. Kesenian tradisonal dongkrek, perkumpulan sikat Teratai, reog pun ikut memeriahkan acara tersebut.
Meski berada di bawah terik matahari, pukul 14.00 WIB, warga antusias turun ke lapangan dan mengarak, karena menyakini ritual ini akan membawa keberkahan. Hal ini sesuai dengan maksud dari acara tersebut.
Bersih desa merupakan kearifan lokal sebagai bentuk syukur. Tujuannya untuk memohon perlindungan Tuhan agar desa makmur, sejahtera, juga terhindar dari hal negatif.
Tak kalah penting kirab budaya gunungan digelar atas aspirasi warga guna mengembangkan desa wisata dan nguri-uri budaya. Seperti kita tahu desa wisata akan berdampak pada sosial, budaya juga perekonomian masyarakat.
Selain itu, upacara bersih desa sebagai penghormatan kepada cikal bakal, sesepuh yang telah berjuang membangun desa, yakni Kyai Ageng Reksogati. Seperti diketahui dari berbagai sumber Kyai Ageng Reksogati, seorang ulama dan wakil Sultan Demak yang diutus Kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Setelah arak-arakan dan gunungan tiba di area pemakaman Reksogati, semua akan hidmat berdoa dipimpin kepala desa.