"Mbah jualan apa?"
Si Mbah tidak menjawab, hanya sedikit menggerakkan bibir, entah apa yang dikatakannya. Saya me byngerti, dia tidak paham bahasa Indonesia.
"Mbah sadeyan nopo?" ulang saya.
Si Mbah baru menjawab kalau jualan sego pecel, tepo pecel, ketan hitam, sego tiwul, botok lompong (daun talas), lontong sayur. Sego adalah bahasa Jawa dari nasi.
"Sakedap Mbah, mengke kulo mriki malih, bade nyeluk konco-konco riyen." Artinya, "Sebentar, Mbah, saya mau panggil teman-teman dulu."
Penjual nasi yang saya panggil Mbah hanya melempar senyum. Entah paham atau tidak bahasa Jawa saya yang amburadul.
Saya pun berlari kecil menuju ke arah teman-teman suami yang sedang menikmati suasana pagi di Monumen PKI, Desa Kresek, Kabupaten Madiun.
Beberapa hari lalu teman-teman suami dari Bandung berkunjung ke rumah. Kami pun mengajaknya ke Desa Kresek, di mana tempat itu sebagai saksi keganasan PKI. Anak orde baru mungkin sudah tidak asing lagi dengan sejarahnya, karena dulu setiap tanggal 30 September diputar filmnya.
Saya tidak akan menceritakan sejarah PKI baik cerita dari mulut ke mulut, artikel atau berdasarkan film. Ada sisi lain yang ingin saya ceritakan dari kunjungan tersebut, yakni makanan khas desa yang jarang ditemui.
Setelah puas mengambil foto di area monumen, saya mengajak teman-teman untuk sarapan di tempat si Mbah tadi. Sepertinya sarapan di bawah pohon rindang nyaman sekali. Apalagi makanan desa konon sangat enak, sehat.