"Pak, boleh ya saya kuliah di Bandung?" rayu adik perempuan saat itu. Dia memelas meminta izin kepada Bapak untuk menggapai cita-citanya.
Bapak tetap bergeming, sesekali menghela napas panjang seakan ingin melepas kepenatan ekonomi. Sebagai pensiunan Depag, gaji bulanan berkurang.
Saya merasa iba melihat adik yang begitu berharap bisa kuliah. Akan tetapi kasihan juga kepada Bapak jika harus kerja keras mencari biaya kuliah adik.
"Coba saja ikut ujian masuk perguruan tinggi. Kalau lulus Bismillah saja," sahut saya sebelum Bapak memberi keputusan.
"Kuliah di Bandung itu bukan soal bayar uang kuliah saja. Dia harus kos, makan, jajan dan tetek bengek lainnya. Uang pensiun bapak tidak cukup." Bapak merespon dengan nada sedikit tinggi.
Oleh karena Bapak tidak memberi izin. Saya pun mengatakan siap membantu biaya kuliah adik perempuan jika dia lulus.
Bagaimana gaji honorer membantu biaya kuliah?
Tahun 2000, adik saya dinyatakan lulus di salah satu PTN di Bandung. Uang kuliah per semester atau sekarang uang kuliaj tunggal (UKT) sebesar Rp600 ribu dan uang kuliah awal atau kami menyebutnya uang pangkal sekitar Rp3 juta. Pada masa itu, uang semester Rp600 ribu terasa tinggi.
Meski saya, Bapak dan Ibu kerja sama membiayai kuliah adik, setiap waktunya bayar UKT uang itu tidak ada. Gaji pensiun Bapak dipakai makan sekeluarga sehari-hari. Gaji saya yang tak seberapa pun habis untuk ongkos kerja. Solusi paling aman adalah pinjam koperasi kantor, terkadang pinjam teman.
Pinjam uang ke koperasi tentunya ada bunga yang harus dibayar setiap bulannya, juga jumlah cicilan. Saya berpikir waktu itu, semuanya akan mudah dan cepat lunas. Akan tetapi utang saya malah semakin bertambah. Hal ini karena sebelum utang pertama lunas, saya sudah pinjam lagi, entah itu untuk kiriman bulanan adik, ongkos ketika tiba-tiba adik mudik atau kebutuhan lain. Akibatnya setiap bulan saya hanya mendapat gaji kurang dari Rp100 ribu.