Ketika masuk dapur lepas dari kebun, terdengar suara suami memanggil, "Mah, ada Pak Di, bawa wewehan, salini se!"
Saya pun menuju ruang samping di mana suami dan Pak Di berada. "Lha enten acara nopo, Pak, ko beto weweh?"
"Kulo diutus Pak Ji, bade mantu minggu ngajeng," jawab Pak Di ketika saya tanya.
"Oh tonjokan, Pak," lanjut saya. Setelah ngobrol seputar Pak Ji, saya membawa tas besar ke dapur untuk diganti tempat. Tas tersebut berisi rantang susun yang dalamnya aneka masakan, nasi satu sangku dan ayam panggang satu ekor. Tas tersebut saya kembalikan ke Pak Di, tak lupa diisi beberapa kilogram gula pasir.
Pak Di dan Pak Ji, begitu kami memanggilnya, mereka adalah pekerja di sawah yang bermukim di desa perbatasan Kabupaten Ngawi dan Madiun.
Dari percakapan di atas ada dua tradisi yang masih lestari hingga saat ini yakni weweh dan tonjokan.
Fakta Unik dari Tonjokan
Masyarakat Jawa kaya akan tradisi, di mana tradisi ini warisan budaya leluhur yang entah kapan digunakan masyarakat.
Dalam tradisi tersebut ada symbol untuk menyampaikan pesan secara halus dan sopan. Misalnya tradisi weweh dan tonjokan yang sering dilakukan ketika ada maksud.
Sebelum mengungkap fakta unik dari tonjokan, saya mengingatkan tentang tradisi weweh di desa. Kata weweh sering dibawa dalam percakapan sehari-hari jika ada kiriman nasi dari orang lain.