"Bangun umah tukange wong jobo, mati apa arep dikubur wong adoh, dudu tonggone."
Artinya kurang lebih begini, "Membangun rumah pekerjanya orang luar, kalau meninggal apa mau dikubur orang jauh, bukan tetangganya."
Perkataan itu disampaikan seorang teman ketika dia mendengarnya di warung.
Suami tersenyum saja, karena mereka tidak tahu alasan kami memanggil tukang dari desa lain. Memilih pekerja dari luar desa, bukan karena menyepelekan kemampuan tukang atau ada masalah dengan tetangga.
Membangun rumah itu tidak sebentar dan hasilnya untuk selamanya, kita harus selektif memilih pekerja.
Bagi saya keahlian dan komunikasi yang baik lebih utama. Jika pekerja rumah itu ahli, tetapi tidak bisa diajak diskusi atau dia pandai bicara, tetapi pekerjaannya kusruk, suasana setiap harinya akan kemerungsung. Masalah pun nantinya akan muncul, muncul lagi, dan lagi.
Kami merasa nyaman jika membangun rumah memakai jasa tukang langganan, sapaannya Pak No. Dia lulusan STM bangunan, ahli bangun rumah dan gedung.
Di usia masih muda, kisaran 32 tahun, pengalamannya sudah segudang. Hal ini karena dia mau mencoba hal baru dengan perhitungan tepat. Dia pun mendengarkan keinginan tuan rumah.
Walaupun memakai jasa tukang dari luar, kami tetap mengikutkan kerabat, sahabat dekat yang mau bekerja. Akan tetapi mereka harus manut dengan aturan tukang inti dalam hal ini Pak No.
Hubungan keluarga kami dengan Pak No sudah terjalin lama. Sejak tahun 1998, mulai dari bangun rumah saudara-saudara suami hingga rumah pribadi dan ruko pribadi.
Tidak mudah mempertahankan hubungan baik sekalipun dengan pekerja. Sebagai makhluk sosial pastinya rentan ada masalah. Namun, entah mengapa dengan Pak No dan anak buahnya, baik-baik saja.