Adanya larangan ASN pamer kekayaan di media sosial, saya jadi teringat obrolan dengan teman beberapa bulan yang lalu terkait postingannya di Facebook.
"Kak, sudah baca postinganku yang baru? Aku kan buat postingan, jangan pamer sertifikat, kejuaraan, kekayaan. Itu sama saja menyepelekan orang lain. Merasa diri bisa sementara orang lain tidak," kata teman saya.
Dia pun menceritakan, opininya banyak mendapat beragam tanggapan. Ada yang setuju ada pula yang menganggap iri.
Saat itu saya tidak dapat komentar lebih banyak karena saya pun menyadari pernah pamer sertifikat. Akan tetapi tidak berniat merendahkan teman.
"Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk tidak pamer keberhasilan. Mungkin maksudnya bukan menyepelekan. Kita tidak tahu kan?"
Flexing atau Pamer
Flexing atau pamer telah menjamur di media sosial. Fenomena orang memamerkan kekayaan, keberhasilan, bukan saja dilakukan oleh orang yang super kaya betulan atau hanya demi konten saja.
Kita tidak tahu tujuan orang pamer. Apakah mereka bermaksud menyepelekan, menganggap orang lain tidak mampu atau sekadar promosi barang.
Faktanya, orang yang melakukan pamer memang ada alasan. Pada umumnya ingin menunjukkan pencapaiannya, menarik lawan jenis dan pengakuan atas status sosialnya.
Asal Mula Flexing atau Pamer Kekayaan
Pamer sudah ada berabad-abad lamanya. Melansir dari laman kemenkeu, fenomena flexing muncul pada tahun 1899. Thorstein Veblen seorang ahli ekonomi dan sosiolog Amerika mengungkapkan, pada masa itu benda digunakan untuk menunjukkan status sosial.
Thorstein Veblen mengamati bahwa sendok perak dan korset adalah simbol status sosial di masyarakat. Orang super kaya memamerkan barang tersebut melalui pesta bangsawan.