Sudah menjadi keseharian Mang Kardi membuka warung di pagi hari dan menutupnya kembali jelang tengah malam.
Seperti tak ada lelah, semua dilakukannya bersama istri tercinta, Ceu Entin. Bagi pendaki seperti kami, warung Pak Kardi tak asing lagi
Warung bambu berukuran kira-kira 2 x 3 meter dengan atap alang-alang menyediakan aneka makanan untuk ganjal perut. Mie rebus, kopi panas, teh panas, pisang goreng menjadi makanan favorit pendaki. Satu lagi minuman andalan para pemuda pemudi penjelajah, yakni bajigur.
"Mang, punteun bajigurna lima ya!" ucap Asep seraya mengambil tempat duduk di bangku paling pojok.
Ransel besar dibiarkannya tergeletak di atas tanah.
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, aku pun segera menyimpan ransel yang lebih kecil dari milik Asep di amben yang telah disiapkan Mang Kardi.
Tanganku menggandeng Irma menuju surau kecil di samping warung.
"Kita salat Ashar dulu, baru makan, minum, Ma!" ajakku.
Irma menganggukkan kepala.
"Kita naik kapan, Teh?"