Lebaran menjadi momen penting bagi saya untuk mudik bertemu orangtua, saudara dan kerabat. Jarak yang jauh dan aktivitas yang padat bertemu kerabat pun satu tahun sekali.
Mudik lebaran menggunakan mobil pribadi lebih fleksibel ketimbang pakai kereta karena saya harus membawa dua anak kecil, suami yang difabel.
Biasanya, keponakan ipar akan mengantar kami hingga Cirebon. Lalu, dia akan pulang ke Madiun dengan kereta atau bus. Dari Cirebon ke rumah, suami sendiri yang bawa kendaraan.
Hal ini untuk menyingkat waktu karena kota saya jauh dari stasiun atau jalur bus antar provinsi. Kedatangan kami ke Cirebon sudah diatur agar tidak ketinggalan kereta api.
Misalnya, kereta api Cirebon-Madiun berangkat pukul 19.45 WIB. Kami akan meluncur dari Madiun maksimal pukul 04.00 WIB dengan estimasi perjalanan 12 jam dan istirahat tiga kali. Teknik mudik seperti itu kami lakukan sebelum ada jalan tol.
Mudik lebaran dengan kendaraan pribadi, sebenarnya ada dampak positif dan negatif. Positifnya tentu memudahkan silaturahmi saat tiba di kampung.
Negatifnya, sering kali kita dianggap pamer, terlebih pada tahun 2000. Di lingkungan tempat tinggal orangtua dan kerabat, belum banyak yang memiliki kendaraan pribadi. Jangankan mobil, motor pun masih jarang.
Itu sebabnya pernah ada yang laporan kalau ada orang mempertanyakan dari mana kami memiiki mobil, apakah sewa atau pinjam. Ada juga yang nyinyir.
"Memangnya si Mas kerja apa, bisa kebeli mobil?"
Ya... saya anggap wajar pertanyaan itu, karena saya tidak pernah membicarakan pekerjaan, gaji, apa yang saya punya.