Lihat ke Halaman Asli

Sri Rohmatiah Djalil

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Mengenang Masa-masa Menjadi Tenaga Honorer yang Penuh Suka Duka

Diperbarui: 9 Februari 2022   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tenaga honor berseragam sedang bekerja. Foto kompas.com

Saya menjadi tenaga honorer pada tahun 1997 di salah satu SMK Negeri Bandung tetapi hanya sebentar. Tahun berikutnya bekerja di SMA Negeri favorit Majalengka.

Sekolah itu tempat saya menamatkan sekolah menengah pada tahun 1995. Jadi begitu bekerja sebagai tenaga komputer di tata usaha, sebagian guru tidak asing, terutama guru yang mengajar di kelas fisika.

Pada masa itu kelas A.1 hanya satu kelas dan muridnya sedikit, 21 orang. Dengan jumlah murid sedikit, guru mudah hafal. Saya pun orangnya supel, jadi mudah diingat oleh guru mata pelajaran (mungkin juga sih, hehe)

Menerima tawaran bekerja menjadi tenaga honorer apalagi sebagai PTT (Pegawai Tidak Tetap) mendapat pertentangan dari kakak sepupu. 

Dia sering ke rumah menawarkan pekerjaan ke luar negeri menjadi asisten rumah tangga dengan iming-iming gaji besar.

Saya tidak tertarik berangkat jadi TKW, apalagi orang tua. Kalau orang tua masih memegang prinsip, "Makan gak makan asal kumpul". 

Bukan itu saja alasan orang tua melarang saya menjadi TKW. Banyak kekhwatiran dengan isu yang menimpa TKW.

"Gaji sedikit  yang penting berkah, dileukeunan wae," pesan bapak saat itu. Orang tua berharap keberkahan. Keberkahan tidak bisa dihitung dengan uang.

Bangga memakai seragam?

Seragam adalah identitas pekerja, siapa yang tidak bangga memiliki identitas. Namun, jangan pula menjadi sombong apalagi dijadikan alasan untuk menyakiti orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline